Kita perlu selalu menyadari, secanggih apa pun teknologi yang diandalkan oleh suatu organisasi, para pemimpin dan tim operator sehari-harinya tetap manusia-manusia yang sudah memiliki belief dalam diri masing-masing – terkait agama, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya. Mereka yang kita rekrut dan kita gaji tersebut belum tentu akan mudah diajak mengubah pola pikir mereka, mengikuti sepenuhnya setiap garis kebijakan organisasi. Apalagi jika tidak selaras dengan belief mereka.
Berdasarkan pelbagai survei dan kenyataan sehari-hari yang kita lihat bersama, sejak ribuan tahun silam sampai hari ini manusia cenderung memeluk erat belief yang mereka yakini benar, bahkan kendati kemudian terbukti yang mereka percayai tersebut lancung, hoax, atau tidak relevan dengan realitas.
Sekitar 380 tahun Sebelum Masehi, Filsuf Plato dalam The Allegory of the Cave sudah menuturkan betapa manusia mudah terjebak dan terpenjara dalam pemahaman yang sudah melekat dalam benak mereka, kendati semua itu ilusi, bayangan yang memintas di dinding gua. Mereka menampik dengan keras realitas dunia nyata di luar gua.
Orang-orang Amerika yang dianggap sebagai masyarakat terpelajar itu pun sempat bertahun-tahun terbenam dalam keyakinan bahwa Presiden Irak Saddam Hussein berperan dalam peristiwa September 11, 2001 – serangan pesawat terbang sipil merontokkan Twin Towers di New York.
Kendati kemudian Komisi 9/11 menyatakan tidak ada link antara Saddam Hussein dalam kasus Twin Towers dan Presiden George W. Bush juga menegaskan hasil temuan tersebut, masyarakat AS banyak yang masih percaya bahwa Saddam Hussein terlibat.
Belief merupakan urusan yang pelik. Dalam kenyataan di organisasi-organisasi bisnis, nonprofit dan institusi pemerintah, tim atau karyawan cenderung berperilaku “ogah-ogahan” melaksanakan inisiatif perubahan. Upaya-upaya para pimpinan melakukan penataan ulang budaya organisasi akan mereka anggap menyebabkan ketidaknyamanan, dapat menggugurkan keyakinan yang selama ini mereka pegang.
Reaksi karyawan menghadapi inisiatif, misalnya penguatan budaya kerja di organisasi, bermacam-macam. Hasil survei dan interaksi Adrian Gostick dan Chester Elton dengan ratusan organisasi di pelbagai negara menceritakan ekpresi perlawanan karyawan yang paling sering terjadi (All In, How the Best Managers Create a Culture of Belief and Drive Big Results, 2012).
Di antaranya attitude bolstering. Mereka akan menyodorkan fakta-fakta yang menopang posisi mereka tanpa secara langsung menolak ajakan (perubahan) atau bahkan tidak memperlihatkan kemauan menempuh jalan baru yang bisa lebih baik. Ada juga yang counter-arguing. Secara terbuka atau di balik punggung, karyawan menangkis upaya menata ulang pola pikir dan perilaku mereka, dengan komentar-komentar bernada sumbang.
Maka, siapa saja yang dipercaya memimpin sebaiknya mampu memahami kompleksitas kerja otak dan berlatih secara berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi. Hasil multi-year study yang disponsori Accenture Institute for Strategic Change, survei terhadap para eksekutif di 200-an organisasi multinasional di enam benua, mengungkapkan 15 kompetensi yang sepatutnya dipahami dan dipraktikkan oleh setiap pemimpin organisasi dalam kancah global sekarang.
Salah satu dari 15 kompetensi yang diperlukan untuk sukses adalah membuktikan mampu berpola pikir dan bertindak boundary-less inclusion, menyelaraskan pelbagai belief, empowering people, dan membangun budaya. Semua itu bisa dilatih dengan pendekatan yang tepat dan hasilnya sebaiknya diukur secara periodik, akuntabilitas terjaga.