Jumat, Desember 27, 2024

Waspadai tirani inertia

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Achievement and fulfillment

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Perempuan itu menyusun helai-helai benang dengan tekun, memintalnya menjadi sebuah kain yang indah, siap dijadikan sarung atau pakaian. Namun kemudian ia melolosi benang demi benang yang sudah dia tenun dengan baik itu, sehingga terurai. Tentu bisa saja jadi kusut dan membuat pedih bagi orang waras yang melihatnya.

Kisah dari suatu cerita lama tentang seorang perempuan yang hidup dalam dimensinya sendiri (konon gila) ini, inspirasinya dari salah satu ceramah Prof. Quraish Shihab.  

Ini sesungguhnya untuk mengingatkan kita semua. Siapa pun yang sudah mengikat perjanjian dengan diri sendiri untuk menjadi pribadi baru yang lebih baik, merajut komitmen dengan pihak lain (perorangan dan lembaga), apalagi berikrar kepada Pencipta Alam Semesta saat berdo’a, tidaklah pantas melolosi “benang demi benang” rajutan kata dan kalimat, tertulis atau pun terucap, dalam janji, komitmen, dan ikrar tersebut.

Kecuali kalau seseorang siap dianggap menjalani hidup dalam dimensi sendiri – keluar dari sistem, merusak frekuensi konektivitas antar sesama manusia, gambaran ekstremnya mungkin seperti seorang astronot yang terlempar dari pesawat luar angkasa.

Hari-hari ini di sekitar kita, mereka akui atau mereka sangkal, masih saja ada orang-orang yang perilaku mereka seperti perempuan pemintal yang melolosi benang-benang yang sudah terikat rapi sebagai kain itu.

Mereka menjalani ritual kesia-siaan seolah-olah sebagai cara hidup yang sah – misalnya, teronggok di depan layar televisi atau perkakas digital berjam-jam dalam ayunan informasi dan hiburan yang tidak relevan dengan pengembangan kecerdasan, peningkatan kualitas hidup, mengganggu tugas utama hari itu. Dalam sejumlah kasus, di wilayah pribadi, bahkan merusak kehidupan berkeluarga.

Di kantor-kantor jawatan pemerintah, di wilayah pelayanan publik, juga di firma-firma dagang, perilaku semacam itu – memuliakan hiburan, kesenangan sesaat, dan menomorduakan kewajiban — mudah sekali kita dapati. Perjanjian mereka dengan institusi, komitmen mereka dengan kehidupan, mereka rusak sendiri setiap jam, saban hari. Seperti “melolosi benang-benang” komitmen profesional yang sudah mereka rajut sebagai lembaran kain kehidupan.

Survei 2021 Gallup tentang engagement karyawan di AS memperlihatkan, 36% engaged dalam pekerjaan atau di tempat mereka bekerja. Dapat diartikan, 64% tidak atau kurang engaged. Secara global, tingkat engagement sekitar 20%. Dengan kata lain, 80% dapat dinilai bekerja tidak fokus atau tanpa kesadaran penuh, karena bisa saja disambi melakukan keasikan dalam dunia kecil mereka masing-masing.

Para karyawan di AS yang masuk kategori actively disengaged (sekitar 15%) tercatat mengalami ketidakbahagiaan (miserable) dalam bekerja dan umumnya merasa dipimpin secara tidak baik oleh atasan mereka (poorly managed).

Bagaimana di Indonesia, berapa banyak eksekutif atau leader yang bernyali untuk selalu mengecek dan mendapati realitas hasil kepemimpinan mereka dengan legowo? Apakah mereka berani, bisa rendah hati, memiliki emotional agility, selalu mengukur ulang kepemimpinan mereka melalui perspektif para stakeholder (rekan kerja, atasan, tim), orang-orang yang terkena langsung oleh perilaku kepemimpinan mereka? Anda sendiri bagaimana?   

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article