Minggu, September 22, 2024

Waspadai tirani inertia

Must read

Dalam aktivitas organisasi sehari-hari belakangan ini, di akhir pandemi, sejumlah kantor dagang, persero, dan jawatan pemerintah memberlakukan cara kerja hybrid, gabungan secara online (dari rumah, warung kopi, atau pusat kebugaran pribadi) dan offline (hadir di kantor). Plus dan minus cara bekerja seperti ini sudah kita alami bersama dan dibahas di sejumlah diskusi atau lewat webinar.

Bersediakah kita mengakui, kualitas engagement dan budaya organisasi merupakan dua hal fundamental yang cidera akibat cara kerja hibrida yang diselenggarakan secara sembrono? Ini bisa saja akibat organisasi-organisasi cenderung latah, langsung menerapkan cara kerja kombinasi tersebut tanpa melakukan semacam “hybrid due diligence”.  

Selain menimbulkan perilaku seperti “melolosi benang-benang yang sudah terajut”, sebagaimana digambarkan di atas, membiarkan pola kerja yang tidak efektif berkelanjutan dapat juga menyuburkan inertia, kelembaman, tendensi tidak melakukan apa pun, di level pribadi (para eksekutif dan team leaders) dan sebagai organisasi.

Organisasi yang lebih memuliakan birokrasi, berbelit, mengalami bottle neck dalam proses pengambilan keputusan, bahkan ketika sudah menerapkan pola kerja hybrid, indikasinya terkena wabah inertia.

Contoh lain akibat inertia adalah pribadi-pribadi atau organisasi yang memilih (atau menikmati?) status quo. “Inertia is the most resolute and determinative opponent of change,” kata Marshall Goldsmith, world-renowned leadership coach, penulis buku The Earned Life: Lose Regret, Choose Fulfillment, yang baru saja beredar.   

Produk inertia lainnya bisa berupa proyek-proyek yang disiapkan rapih, dengan feasibility study meyakinkan, dukungan keuangan memadai, ternyata tersendat – bahkan terancam mangkrak. Akibat proses eksekusinya sering kesandung, utamanya oleh ego dan kemanjaan-kemanjaan pribadi para pengambil keputusan.

Perlu keberanian emosional untuk mengakui, ternyata para eksekutif pintar dan kalangan pekerja profesional dengan reputasi jempolan, bisa terkena wabah inertia juga. Mereka tersendat dalam melakukan eksekusi untuk mewujudkan, bahkan, niat-niat baik mereka sendiri. Mereka menunda, entah sampai kapan, peluang meraih achievement dan fulfilment.

Cobalah simak di sekitar Anda. Atau bagaimana kalau Anda sendiri bercermin, yakinkah bersih dari gangguan atau gejala inertia?

Inertia bisa menjangkiti siapa saja, tanpa pandang profesi, pangkat, kedudukan, di sektor bisnis, nonprofit, bahkan di lingkungan pendidikan. Tugas kita adalah menyadari dampaknya dan mengelolanya dengan bijak, dan memulai membiasakan tindakan-tindakan positif, pruduktif, sering kali counterintuitive setiap hari – seperti latihan ringan menjaga stamina, mengkonsumsi makanan sehat, mengecek leadership agility kita – dan menghentikan perilaku destruktif.

Selanjutnya adalah waspada, termasuk terhadap diri sendiri yang bisa saja tersandung oleh godaan-godaan kenikmatan sesaat (bentuknya bisa apa saja).

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article