#SeninCoaching:
#Lead for Good: To see behind the reality clearly
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Most of us, most of the time, live with unquestioned belief that the world looks as it does because that’s the way it is. We hold a single interpretation of the world around us at any one time, and we normally invest little effort in generating plausible alternatives to it,” – Noise, A Flaw in Human Judgment: Daniel Kahneman, Olivier Sibony, dan Cass R. Sunstein.
Bom membunuh 192 orang dan melukai lebih 2.000 penumpang kereta komuter ibukota. Sidik jari diketemukan di kantung plastik yang diindikasikan sebagai bungkus bom. Melalui jalur Interpol, temuan sidik jari di TKP (Tempat Kejadian Perkara) oleh Kepolisian Madrid dikirim ke institusi dan lembaga penegak hukum di seluruh dunia.
Dalam beberapa hari, tahun 2004 itu, laboratorium forensik Biro Penyidik Federal AS (FBI) mengidentifikasi secara konklusif: sidik jari tersebut milik Brandon Mayfield, warga AS, tinggal di Oregon.
Brandon Mayfield rupanya dianggap memenuhi syarat untuk dicurigai. Mantan perwira US Army ini menikahi seorang wanita keturunan Mesir, lalu jadi mualaf, meyakini Islam agamanya. Sebagai lawyer, ia pernah membela seseorang yang dituduh (dan dihukum) karena mencoba menerobos ke Afghanistan untuk menjadi anggota Taliban. Maka Brandon masuk dalam daftar orang-orang yang diintai FBI.
Sudut-sudut rumahnya, dan tentu jalur teleponnya juga, disadap hamba wet. Tanpa bukti, data, atau pun hasil sadapan yang mengindikasikan Brandon terlibat kasus bom di Madrid, FBI tetap saja menahan dia. Tidak ada tuduhan resmi. Namun selama satu dasawarsa Brandon tidak bisa keluar negeri. Kemudian para penyidik Spanyol mendapati fakta, sidik jari yang diketemukan di kantung plastik itu ternyata tidak cocok dengan sidik jari Brandon.
Dua pekan setelah itu, Brandon dibebaskan. Pemerintah AS selain meminta maaf juga memberikan kompensasi US$ 2 juta kepada Brandon. Lebih dari itu, dilakukan juga penyelidikan internal, kenapa sampai terjadi kekeliruan serius semacam itu. Jawabannya: “The error was a human error and not a methodology or technology failure.”
Anda bisa bayangkan, lembaga penyidik yang dipersepsikan hebat, dengan dukungan teknologi canggih dan tim pilihan, seperti FBI, dapat terjerumus ke perilaku memalukan semacam itu. Indikasinya akibat bias dan noise (kelihatannya terkait Islam dan Taliban) di benak pengambil keputusan badan penyidik federal.
Berita positifnya, Pemerintah AS mengakui terjadinya kesalahan, meminta maaf, dan memberikan ganti kerugian kepada Brandon – serta melakukan koreksi internal secara berlapis-lapis dengan melibatkan para ahli dari bidang yang relevan.
Pembelajaran yang dapat kita petik, teknologi secanggih apa pun dan metodologi sehandal apa pun, tetap tidak sepenuhnya dapat diandalkan dalam setiap pengambilan keputusan, memberikan judgment. Faktor penentu utama adalah manusia.
Pertanyaannya: sejauh mana manusia-manusia yang tengah dalam posisi diberikan wewenang mengambil keputusan selalu dapat berhasil membebaskan diri dari bias, merdeka dari pikiran-pikiran keruh (noise)?
Dalam banyak kasus di lingkungan peradilan, di kalangan bisnis, bahkan di dunia medis, kekeliruan dalam memberikan judgments dapat dikatakan sudah demikian kronis. Riset bertahun-tahun yang dilakukan Daniel Kahneman (peraih Nobel 2002 Economic Sciences, behavioral economics), Olivier Sibony, dan Cass R. Sunstein, menghasilkan sejumlah cerita faktual mengenai itu (Noise, A Flaw in Human Judgment, 2021). Sebagian dari Anda mungkin juga sudah membacanya.