Dalam kenyataan sehari-hari, betapa sering kita menemukan kenyataan yang tidak membanggakan tersebut: bias dan noise telah meracuni cara berpikir dan berperilaku banyak orang dalam memberikan judgment.
Coba sesekali nonton talk-show di televisi, yang demikian meriah, digandrungi publik, banyak iklan, tapi adakah jaminan bahwa para pembicara di arena tersebut bersih dari bias dan noise dalam diri mereka saat memberikan penailaian tentang tokoh dan kondisi negara?
Mungkin banyak di antara kita tidak peduli, karena sudah tersihir oleh pernyataan dan sejumlah judgments mereka – yang kurang lebih cocok di mata penonton, yang sudah dirundung confirmation bias (mendengar dan melihat hanya yang sesuai dengan yang sudah ada di pikiran).
Konflik sosial, polarisasi politik tanpa landasan ideologis, ketidakharmonisan kehidupan bermasyarakat, kerugian ekonomi, rusaknya peradaban, bisa dikatakan merupakan korban sejumlah judgments yang didasari bias dan pikiran keruh, secara berkesinambungan.
Bias dan noise di kalangan eksekutif dapat menghambat eksekusi niat-niat baik dan merugikan para pemangku kepentingan. Di organisasi bisnis, nonprofit, juga lembaga-lembaga pemerintahan, perilaku kepemimpinan dengan benak yang digelayuti bias dan noise para pengambil keputusan dapat menimbulkan kerugian jutaan dolar atau, kalau bukan dampak negatif secara finansial, bisa menyebabkan kebuntuan, mungkin juga korban manusia. Manajemen tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan, bergerak di luar visi dan misi yang disepakati bersama para pemegang saham.
Apalagi jika yang berada di posisi pimpinan merupakan orang-orang (yang dipersepsikan) sukses atau pernah berhasil di organisasi sebelumnya.
Penelaahan dan riset yang dilakukan Marshall Goldsmith dan tim terhadap ratusan eksekutif sukses menghasilkan kesimpulan, orang-orang yang berada di level pimpinan organisasi umumnya tidak ada masalah dalam soal skill yang dapat diandalkan untuk posisinya. Mereka hampir semua juga memiliki kecerdasan diatas rata-rata dan personality yang baik.
Problem mereka, dengan kesuksesan yang digendongnya, utamanya adalah dalam interaksi antar manusia. Makin tinggi posisi mereka, ganjalan mereka untuk meraih sukses berikutnya mostly behavioral.
Berdasarkan penelitian terhadap orang-orang sukses di pelbagai negara, disimpulkan ada 20 perilaku tidak terpuji di kalangan eksekutif dalam interaksi antar manusia. Itu dapat menelikung orang sukses, utamanya saat berada di posisi pimpinan.
Tentu masing-masing pimpinan atau eksekutif umumnya hanya terjangkiti dua atau tiga dari 20 perilaku negatif tersebut. Sebab, kalau terkena katakanlah lima saja dari 20 perilaku kurang adab tersebut, mustahil karirnya berkembang dan menduduki posnya sekarang.
Perilaku kepemimpinan yang membahayakan organisasi dan karir kalangan eksekutif tersebut antara lain: memberikan komentar destruktif (untuk mempertontonkan diri cerdas, mengumbar sarkasme); mencaplok pujian yang bukan haknya (merasa memiliki kontribusi terbesar dalam setiap keberhasilan organisasi); mengumbar kemarahan (menggunakan emotional volatility as a management tool); tidak mampu mendengarkan (ini perilaku pasif-agresif paling parah sebagai sikap tidak menghargai rekan kerja); winning too much (maunya paling benar di setiap interaksi, menyangkut urusan penting atau hal-hal sepele); memuja dan mengagungkan masa lalu, serta selalu menyalahkan pihak lain dalam setiap ada masalah. Dst.nya.