Rabu, Desember 25, 2024

Temu Seni, 14 musisi muda pentaskan komposisi apik hasil kolaborasi di Papua

Must read

Tanpa bermaksud mendikotomikan Timur – Barat. Tapi secara esensial Nusantara sudah memiliki pengalaman spiritual dengan alam lingkungannya. Bahkan kata musik pun sejatinya bukan milik kita, kalaupun dipinjam baik secara institusional maupun faktual, pada prinsipnya komunikasi sehari-hari secara non-verbal baik melalui suara, gerak ataupun imajinasi bentuk.

Dan itulah kekayaan Nusantara yang belum banyak dielaborasi. Bukan semata-mata persoalan seni tapi bagi masyarakat agraris, semua perilaku itu memiliki makna dan fungsi yang salah satunya untuk kesenangan. Ritualistik alamiah sudah menjadi bagian dan cara hidup di nusantara ini.

Musisi muda dari Kelompok 3; Sri Hanuraga, Yudhi Kaiway, Bastian Marani dan Melfritin Waimbo menuturkan bahwa yang menjadi inspirasi dan referensi dalam kolaborasi di ajang Temu Seni adalah mitos penciptaan manusia dari suku asmat Papua dan alam Papua.

“Kelompok kami sudah memiliki gambaran untuk membuat suatu kolaborasi musik dengan menggabungkan unsur soundscape dengan instrumen tradisi Papua dan suara yang sudah diubah ke dalam bentuk sampel, serta ditambahkan nyanyian dan senandung khas Papua.”

Lebih jauh Sri Hanuraga menuturkan bahwa mitologi begitu penting karena merupakan cara pertama manusia memahami dirinya sebelum pemahaman yang rasional. Maka jika kita berbicara “Mengalami masa lampau dan menumbuhkan masa depan” maka penting menafsirkan modernitas melalui konteks lokal, bukan sebaliknya.

Sementara itu, Kelompok 1 yang terdiri dari musisi Minang Rani Jambak, Christian Setyo Adi, Ana Adila, I Gede Yogi dan Wahyu Thoyyib memaparkan bahwa komposisi mereka adalah pembauran dari latar seni budaya yang berbeda. Kemudian kelompok kami baru menggambarkan pengalaman masing-masing dari perjalanan ke pasar Pharaa dan sanggar Hirosi serta pengalaman metode dalam pembuatan karya bersama.

Antropolog sekaligus musisi peserta ajang Temu Seni, Halida Bunga Fisandra bersama rekan musisi Sraya Murtikanti, Presley Talaut, Purwoko Ryan dan Yuddan Fijjar mengungkapkan bahwa pengalaman berjumpa dan mengenal Papua pertama kalinya secara langsung, seperti kunjungan ke Pasar Pharaa adalah inspirasi utama bagaimana komposisi berjudul Pharaa Swara tercipta.

“Terlebih, kami bukanlah orang asli Papua. Sehingga pertemuan dengan Papua justru kami jadikan momentum yang dapat mengejawantahkan ekspresi bunyi yang lekat dekat latar belakang tubuh musik kami masing-masing. Konstruksi musiknya muncul dari pengalaman panca indera, yang kemudian ditransmisi lewat vokal dan instrumen yang beragam; seperti sapek, slompret, kendang, dan biola.”

Kegiatan Temu Seni ini merupakan salah satu rangkaian dari Festival Mega Event Indonesia Bertutur 2022 yang dihelat menjadi bagian dari perhelatan akbar Pertemuan Menteri-Menteri Kebudayaan G20 (G20 Ministerial Meeting on Culture) di mana akan dilaksanakan di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan September mendatang.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article