Fakta tersebut makin tidak dapat dihindari, bahkan bisa menyebabkan pemborosan resources (uang, waktu, dan kecerdasan), jika para pengambil keputusan di suatu organisasi – board of director atau para eksekutif senior – bekerja dalam pola normatif, business as usual, tidak memperdulikan pentingnya follow up dan follow through setiap program pelatihan yang diselenggarakan atau mereka ikuti.
Sejumlah organisasi, umumnya di sektor bisnis, mengatasi kondisi tersebut dengan membuat sistem pelatihan internal yang terstruktur dan dipantau dengan ketat. Sebagiannya mengkombinasikan pendekatan itu dengan executive coaching secara berkesinambungan, berdasarkan metode yang proven, dari institusi yang sudah dipercaya ribuan organisasi di pelbagai negara, di sektor bisnis, nonprofit, maupun pemerintahan. Kegiatan itu diukur pula secara periodik.
Namun masih belum banyak direksi yang merasa memerlukannya – apalagi jika jabatan direktur di organisasi tersebut hanya sekitar dua atau tiga tahun, lalu dipindah entah kemana, sebagaimana terjadi di umumnya BUMN. Mereka terlihat seperti tidak merasa berkepentingan dengan pengembangan human capital untuk jangka panjang.
Mereka bisa jadi merupakan para manajer hebat, dapat diandalkan dalam bidang keuangan, strategi pemasaran, dan seterusnya. Tapi perilakunya lebih banyak memperlihatkan mereka bukan pemimpin, akibat upaya-upaya mereka kehilangan konteks kemanusiaannya.
Manusia dikaruniai kecerdasan berlapis-lapis, tapi umumnya para pengambil keputusan di suatu organisasi menyelenggarakan pelatihan-pelatihan secara parsial, merasa puas dengan satu dua metode, itu pun tanpa follow up dan pemantauan yang akuntabel. Indikasinya? Selain terbukti retensi hasil pelatihan tidak lama, implementasi lemah, perubahan perilaku hasil workshop atau bootcamp (apa pun istilahnya) belum memberikan positive impact yang signifikan.
Bahkan ada yang bertentangan dengan tujuan pelatihan. Contohnya, ini fakta berdasarkan hasil audit internal, ada sebuah persero besar profitnya belum lama ini turun, tapi para direksinya – yang berbangga dengan kegiatan spiritual equation yang pernah mereka ikuti – malah minta tantiem naik. Perilaku para bos seperti ini dapat dianggap melecehkan program peningkatan spiritual equation di organisasinya.
Ada pula BUMN besar lain yang cenderung menunda bayar kewajiban ke pemasok, melebihi batas waktu yang dijanjikan – tagihan dibayar sebulan setelah invoice mereka terima, kenyataannya hampir dua bulan kadang belum mereka bayar. Apa semua itu hasil yang diharapkan lewat pelatihan-pelatihan strategis, taktis, spiritual equation, dll.nya itu?
Anda bisa menjawab, tentunya tidak. Bukan itu yang diharapkan.
Kenapa itu masih terjadi sampai hari ini? Indikasi paling kuat adalah akibat pelbagai pelatihan dan workshop yang diselenggarakan atau diikuti oleh organisasi-organisasi tersebut belum menyentuh manusia-nya.
Situasi bisa makin tidak menggembirakan jika perilaku kepemimpinan kalangan eksekutif di organisasi juga kurang mementingkan manusia – akibat terlalu memuja target, merasa gagah hanya dengan angka, tanpa peduli etika dan interpersonal relationship, serta mengelak pengembangan intrapersonal intelligence.
Di pelbagai negara sudah berkembang budaya perusahaan yang benar-benar memuliakan manusia, melalui proses pelatihan berkesinambungan dan langsung diimplementasikan dalam kerja sehari-hari, tanpa banyak jor-joran public relation.