Senin, November 18, 2024

Bisakah kita tanpa front?

Must read

Tragedi di Kanjuruhan dan sejumlah kepedihan akibat benturan di tempat-tempat berbeda, akibat perbedaan posisi dan kepentingan, sesungguhnya menggambarkan satu hal: umat manusia kecanduan membangun front di nyaris hampir semua interaksi dengan manusia lain. Siapa saja dan apa pun di luar diri disikapi dengan semangat berhadap-hadapan. Apakah buat mereka di Bumi ini semua hal di luar diri sendiri sudah selalu jadi ancaman?

Para penembak gas air mata sudah dilatih membangun front, bahasanya: siap menghadapi massa, yang mereka persepsikan secara sepihak sebagai ancaman — soal hak asasi manusia, etika profesi, tanggung jawab sosial, dan apakah massa tersebut dinilai mengancam keutuhan bangsa atau keriuhan biasa, itu semua urusan para perwira mereka. Prajurit menjalankan perintah, walaupun kadang secara berlebihan.

Para pemuda pendukung Arema, sama dengan penyokong Persebaya, serta mungkin juga sebagian dari kita, penonton, masing-masing melihat pertandingan secara langsung atau lewat televisi, wajar berbekal semangat punya front: ada kita dan ada mereka. Kompetisi olah raga adalah arena yang mereka anggap cocok untuk mengekspresikan itu – hanya saja kadang lepas kendali.

Front, pembentukan garis demarkasi semu antara pihak sendiri dengan pihak lain, sepertinya ada di pelbagai bentuk kegiatan manusia.

Para prajurit punya front dengan atasan mereka – dan atasan ini juga punya front dengan pejabat lebih senior. Setiap posisi ingin diperhitungkan keberadaannya oleh pihak lain. Di organisasi bisnis, institusi pemerintahan, bahkan nonprofit, satu divisi cenderung memelihara front dengan divisi berbeda, sehingga menimbulkan bottleneck dalam proses kerja.

Birokrasi membelenggu institusi, membuat tingkat produktivitas bahkan di pelbagai organisasi di dunia, sebagaimana temuan Martin Lindstrom belakangan ini, anjlok rata-rata sampai di bawah 30%. Sekitar 70% resources terpakai untuk sejumlah kesia-siaan.

Para birokrat di pihak regulator (pemerintahan), apalagi yang mengurus perijinan, sebagaimana hari ini masih dapat kita saksikan di pelbagai jawatan, kecenderungannya juga membangun front dengan masyarakat, selalu ingin “diperhitungkan” – maksudnya, dihitung berapa sogokannya agar urusan lancar.

Di level berbeda, di kalangan para politisi bahkan sampai tingkat kepala negara, front sengaja mereka pelihara, bahkan kalau perlu diperbesar, untuk menopang eksistensi masing-masing. Presiden Putin, misalnya, yang sering dikabarkan memiliki kekuasaan melebihi kaisar Rusia, ternyata masih memerlukan front tambahan, dengan mengebomi Ukraina.

Di Timur Tengah, tentara Israel kelihatannya akan kehilangan front jika tidak menembak atau mengebom orang-orang Palestina, bahkan yang lagi menjalani hidup sehari-hari, tidak mengancam siapa pun. Tanpa front, sepertinya tentara Israel kehilangan alasan hidup. Dan seterusnya.

Apakah barangkali Anda mau menyimpulkan, orang-orang yang bersenjata dan merasa punya kekuasaan, apakah itu tentara Israel, Putin, atau para aparat di Kanjuruhan, mungkin juga bos di kantor Anda yang sering marah besar hanya karena hal sepele, sesungguhnya adalah deretan para pecundang?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article