Senin, November 18, 2024

Bisakah kita tanpa front?

Must read

Mereka yang berorientasi jangka pendek tersebut pada khilaf, banyak perusahaan di dunia ini, termasuk yang sudah berusia lebih dari 130 tahun seperti General Electric (GE), melakukan perubahan terus-menerus sehingga tetap relevan dengan kenyataan dan tantangan hari ini.

Antara lain dengan cara memposisikan pelanggan sampai ke level fans dan dihormati sebagai mitra pertumbuhan seumur hidup. Di sini jelas tidak ada front sama sekali, yang ada adalah semangat merangkul, together we all rise.

Sementara itu, organisasi-organisasi lainnya masih terjebak front. Orang-orang yang diasumsikan bisa memimpin mengalami blind spot.

Kita semua di dunia ini hanya bayangan-bayangan yang berkelebat singkat dalam suatu ruang dan waktu. Kehidupan dan kematian bisa saja beriringan dengan satu helaan nafas. Kenapa masih saja ada manusia yang menyia-nyiakan sekelebat hidup ini dengan perilaku keji atau bodoh?

Penggunaan kata front untuk menamai organisasi yang oleh para pendirinya mestinya diniatkan baik, juga terbukti sering melakukan tindakan-tindakan agresif, tidak terkendali.  

Bagaimana kita sebagai umat manusia menyikapi bermunculannya front di pelbagai lini kehidupan ini?

Kita perlu lebih dulu menerima kenyataan, utamanya dalam kasus-kasus di atas, bahwa semua itu umumnya terkait leadership. Di pelbagai institusi dan organisasi yang menyuburkan tumbuhnya front biasanya tidak ada pemimpin, yang ada adalah para pejabat yang dalam susunan organisasi duduk di kursi pimpinan.

Jika orang-orang dalam posisi pimpinan memiliki emotional courage untuk melihat kenyataan apa adanya, walaupun pahit, tanpa membangun alibi atau memperbanyak excuses, biasanya akan terbuka untuk kita sama-sama cek responsibility dan accountability mereka. Kenyataannya, sebagaimana masih sering kita dapati di organisasi bisnis, institusi publik, nonprofit, kita cenderung sibuk hanya pada responsibility. Sehingga budaya accountability tidak terbentuk.

Contohnya, kebanyakan pertanyaannya adalah, siapa saja yang bertanggungjawab atas tragedi Kanjuruhan. Sudah sepatutnya diperdalam lagi dengan pertanyaan, akuntabilitas para penanggungjawab tersebut bagaimana, mereka akuntabel kepada siapa?

Leadership di suatu institusi tidak akan terbangun kalau tidak ada akuntabilitas. Birokrasi organisasi yang menimbulkan penurunan produktitas dan efektivitas kerja, pihak-pihak di level pimpinan yang berperan menimbulkan tragedi, misalnya di Kanjuruhan, serta sejumlah kasus pelanggaran etika profesi – bahkan hukum — lainnya akibat pemujaan berlebihan pada front, sampai sekarang terkesan accountable to no one.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article