Sungguh manusiawi jika di antara kita ingin jadi bagian dari kejadian-kejadian penting dunia. Sementara itu hanya sedikit yang berhasil memegang peran utama dalam pergulatan eksistensial umat manusia di Bumi.
Mengejar bintang di pundak, pangkat jenderal, bisa jadi sama menggairahkannya dengan para atlet gigih berlatih untuk memperoleh medali emas di kompetisi olah raga.
Bagi sebagian orang, prestasi unggul dalam bidang masing-masing mereka syukuri sebagai anugerah yang menjadikan mereka memiliki keleluasaan lebih untuk berkontribusi bagi sesama manusia. Namun, kenyataannya, sejumlah orang lain merasakan perolehan medali emas atau keberhasilan dapat bintang di pundak mereka, justru menjadi beban.
Beban seorang jenderal bisa berupa “kebutuhan” untuk selalu tampak hebat di mata keluarga, teman-teman masa sekolah, lingkungan pergaulannya, dan publik. Kadang mereka wujudkan melalui kepemilikan mobil-mobil mewah dan motor besar paling mutakhir. Kadang merasa perlu mentraktir teman-teman sekolah di kampung piknik bersama, menginap (memborong seluruh kamar) di hotel kelas internasional.
Itu contoh perilaku sosok-sosok jenderal yang senang jadi pusat perhatian. Demikan berat kiranya beban bintang di pundak mereka, sehingga selalu ingin tampil cool. Kita tidak tahu, gaya hidup mewah para perwira bak selebritas tersebut didanai “sponsor” atau dari keluarganya yang tajir. Untuk menopang semua itu, ternyata diantara mereka diindikasikan terlibat tindakan ilegal, seperti “mafia tambang”, judi, dan drug trafficking. Sejumlah jenderal terpeleset, kehilangan jabatan, dan jadi tersangka.
Prestasi dan jabatan yang kadang mengiringinya, bisa berubah jadi jebakan. Di lingkungan bisnis dan institusi lainnya, bahkan lembaga pendidikan dan nonprofit, serta partai politik, ada sejumlah kasus para CEO dan pemimpin puncak organisasi menjadi korban dari prestasi yang diraih sebelumnya.
Mereka mengalami burn out, stuck, dan tenggelam dalam ayunan pikirannya sendiri, menjauh (secara lahiriah dan batiniah) dari tim yang mereka pimpin, sehingga merugikan para pemangku kepentingan.
Orang-orang berprestasi di profesinya – seperti para jenderal, peraih medali emas, atau direktur dan CEO, serta para bos partai politik — tentunya dapat kita percayai memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan bekerja keras. Tapi, kenapa saat berada di puncak karir, jadi selebritas, pada gagal paham dalam menyikapi kenyataan dan dinamika perubahan?
Di antara mereka ada yang cenderung menganggap orang lain bodoh, tidak mampu memahami yang mereka sampaikan. Mereka enggan melakukan evaluasi, apakah cara berkomunikasi dalam menyampaikan kemauan mereka sudah efektif atau counterproductive akibat terhalang ego. Mereka terperangkap ilusi.
Contoh dari kejadian nyata. Joni Gaya sebutannya, presiden direktur sebuah perusahaan besar. Dalam perkembangan karirnya JG dikenal tekun, selalu menyadari sepenuhnya apa yang dikerjakan dan mengapa ia menjalankannya, serta bagaimana memberikan impact. Ia membangun rambu-rambu menjalankan organisasi, tidak ragu menyatakan kemauannya.