Langkah lain: di samping bikin BUMN baru Indonesia Battery Corporation (IBC), Pemerintahan Jokowi juga mengambil risiko bersengketa dengan Uni Eropa soal larangan ekspor nikel.
Ini dielu-elukan sebagai bentuk “nasionalisme ekonomi”, tanpa banyak orang tahu bahwa perusahaan smelter China lah yang akan menangguk untung terbesar dari larangan ekspor itu.
Singkat kata, Jokowi “mati-matian” mendukung investasi nikel. Tapi, tidak memperhitungkan risikonya.
Produsen utama mobil listrik, seperti Tesla, BYD (China) dan Trontek (India), kini justru menghindari baterai nikel. Mereka memilih baterai tanpa-nikel yang lebih awet, aman dan ramah alam: lithium ferro phosphate (LFP).
Bijih besi untuk ferro-phosphate tersedia cukup luas, dibanding nikel yang hanya dimiliki beberapa negara (salah satunya Rusia, di samping Indonesia). LFP dipilih untuk mengurangi ketergantungan produsen kepada negeri penghasil nikel.
Nikel Indonesia masih dibutuhkan. Tapi, daya tariknya berkaitan mobil listrik segera redup, sementara kerusakan alam dan sosialnya sangat mahal.
Membangun ekonomi dengan mengedepankan kepentingan nasional sangat penting. Tapi, perlu pula diperhitungkan secara masak-masak. Jika memang kita belum mampu, jangan serahkan urusan kepada orang asing (investor Amerika, China maupun Arab).
Fokuskan upaya dan perhatian pada apa yang kita punya di depan mata dan potensial mensejahterakan rakyat banyak: pertanian dan kelautan.*