#SeninCoaching:
#Lead for good: The price of blind ambition
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Michael Phelps, perenang AS peraih 28 medali di Olimpiade, 23 di antaranya emas, mempensiunkan diri saat berusia 31 tahun. Itu 2016, tak lama setelah ia meraih lima emas dan satu perak di Olimpiade Musim Panas Rio de Janeiro. Sebagai atlet dengan penghasilan besar, kekayaan Michael Phelps Maret 2023 ini diperkirakan US$ 100 juta.
Pensiun dari kompetisi, sosok yang dijuluki “the most decorated Olympian” ini ternyata sempat limbung hidupnya. Akibat beban medali, the weight of gold?
Dalam periode galau ketika tidak ada lagi kewajiban terus memacu diri menjadi yang terbaik di setiap kompetisi, Michael Phelps lebih dari sekali berurusan dengan polisi akibat ketahuan mengemudi ugal-ugalan, teler.
Para sejawat Michael Phelps, atlet-atlet elite tingkat dunia, ternyata tidak sedikit yang juga dilanda problem kesehatan mental gawat. Bahkan ada yang bunuh diri. Film dokumenter HBO Sport The Weight of Gold mengungkapkan rangkaian kepedihan batin yang dialami para atlet top. Michael Phelps, yang sudah menjalani terapi, menjadi penutur bingkai cerita.
Apa sejatinya beban orang-orang yang telah bekerja/berlatih demikian keras, berdisiplin, berdedikasi tinggi, meraih kegemilangan, jadi selebritas di wilayah kegiatan yang sangat kompetitif tersebut, sehingga jiwa mereka pada rapuh?
Kalangan ahli psikologi olahraga memperkirakan 30% atlet setiap harinya merasakan overwhelmed, terbenam dalam sederet kewajiban. Sebagian diantaranya karena harus memenuhi target “manajemen” — yaitu para coaches yang kehilangan independensi, pelbagai instansi (pemerintah dan bisnis), serta pemberi sponsor lainnya.
Hidup mereka hyper focus meraih medali emas, minimal perak, lalu kontrak endorsement. Demikian intens program pelatihan mereka. Sebagian coaches bahkan tidak memberi izin atlet binaannya keluar asrama pusat pelatihan untuk pulang sebentar menemui orang tua yang tengah sakit.
Demi target medali dan uang yang menyertainya, mereka jadi bagian dari sebuah mesin sosial yang menjadikan tujuan-tujuan jangka pendek jadi berhala. Kekayaan, ketenaran, kemanjaan dari media dan publik.
Pola pikir dan cara kerja di lingkungan olahraga yang sangat kompetitif melibatkan deretan sponsor seperti itu kurang lebih seirama dengan suasana di organisasi bisnis, nonprofit, pemerintahan, dan partai politik yang memuja target jangka pendek melebihi kepentingan kemuliaan manusia.
Karyawan atau anggota tim ditekan, kalau perlu diintimidasi, untuk memenuhi selera bos, pimpinan organisasi, atau ketua partai.