Organisasi mungkin memberikan pelatihan-pelatihan bagi tim, tapi umumnya hanya fokus pada skills untuk bisa meraih target, seperti total quality, produktivitas, Six Sigma, excellence services, marketing dan seterusnya – sejumlah hal yang biasanya dipelajari di sekolah-sekolah bisnis. Semua itu masuk wilayah “manajemen”.
Semua pihak, termasuk bahkan direksi, memacu diri. Tapi tanpa imbangan pelatihan agar mereka jadi lebih bermakna sebagai manusia.
Di Indonesia dan belahan dunia lain, kecil sekali prosentase organisasi yang melatih team leaders mereka berekspresi, memperlihatkan kekayaan dimensi-dimensi manusia – ini berpengaruh signifikan pada sukses berkelanjutan. Selebihnya adalah organisasi yang memuja “manajemen”, pencitraan, bahkan saling sikut di dalamnya pun mereka lakukan demi meraih target perorangan.
Akibat jangka panjangnya bisa fatal. Merugikan pemegang saham dan kepentingan stakeholder.
Hanya mengandalkan skills di wilayah “manajemen” terbukti tidak memadai, utamanya ketika organisasi harus menghadapi perubahan dan goncangan realitas yang bisa jadi berdampak signifikan – seperti pandemi covid, perubahan regulasi, tantangan pasar yang makin sulit diprediksi, perang, dst.
Indikasinya dapat kita lihat, antara lain, para eksekutif dihantam kesibukan luar biasa, gegabah mengambil keputusan, kehilangan keseimbangan hidup. Karyawan banyak yang mengalami burn out dan gangguan kesehatan mental.
Ketika semua pihak wajib dipacu untuk terus berprestasi melulu berdasarkan technical skills mereka di tengah realitas yang demikian dinamis perubahannya, organisasi cenderung terengah-engah. Mereka limbung.
Belum lama ini di Indonesia sejumlah perusahaan, di antaranya ada yang sering diberitakan sebagai startup sukses, pada mem-PHK ratusan karyawan mereka. Menyedihkan.
Fakta tersebut selain berdampak serius pada ekonomi juga dapat menimbulkan kasus baru jumlah penderita gangguan mental – orang-orang yang kehilangan orientasi hidup, dalam pelbagai tingkat keparahannya.
Data dari Kementerian Kesehatan mengungkapkan, saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya 20% populasi. Atau sekitar 50 juta orang, dengan asumsi jumlah penduduk 250 juta, mempunyai potensi gangguan jiwa.