#SeninCoaching:
#Lead for Good: Beware of Success Delusion
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Mengorbankan ratusan bahkan ribuan orang agar dapat pujian dari pemegang saham dianggap normal di dunia bisnis. Beda dengan di bidang lain, misalnya di lingkungan pasukan elite, di mana pujian, bintang penghargaan (sebagiannya bahkan anumerta), akan diberikan bagi seseorang atau tim yang mengorbankan diri untuk menyelamatkan teman-teman atau suatu komunitas yang terancam gerakan liar bersenjata di suatu kawasan.
Barangkali Anda mengira, perilaku kepemimpinan yang tega mengorbankan karyawan untuk menghamba pada ego bos dan supremasi pemegang saham itu pendekatan lama. Sangat kencang pada 1980-an sampai 1990-an ketika shareholders dan pelaku pasar modal didewakan jajaran direksi umumnya perusahaan, sementara karyawan dianggap hanya deretan sekrup dalam sistem — mereka dispensable. Ini terjadi di sektor usaha apa saja.
Bahkan di bisnis media, dimana direksi yang sekaligus bos di redaksi sering berkoar sebagai pembela keadilan dan moral di pelbagai events seminar, diskusi publik, dan dalam tulisan mereka, ternyata tidak bebas juga dari perilaku mudah memecat tim demi egonya dan kalkulasi sepihak.
Ada pula bos media yang kelihatan cemerlang, sukses membesarkan grup bisnis, kalau tak salah sempat jadi pejabat publik, sangat menikmati tepuk tangan di pelbagai panggung, senang naik mobil mewah, tapi ternyata menggaji ribuan karyawannya di sekitar UMR, memberi tempat kerja yang tidak memenuhi syarat sehat (lampu kurang terang dan toilet jorok), walaupun dari luar gedungnya tampak gagah. Tokoh ini belakangan cari cantolan sana-sini setelah dipersalahkan memanipulasi uang perusahaan dan diminta mundur oleh para pemegang saham penentu.
Kisah sosok tersebut – sukses membesarkan bisnis dengan meminimkan ongkos human capital agar dirinya bisa hidup mewah, menggunakan uang perusahaan tanpa kendali, bikin bisnis-bisnis baru tanpa kepatutan, sehingga pemegang saham menyingkirkannya — mengingatkan perilaku kepemimpinan Carlos Ghosn, eksekutif kelas dunia di industri otomotif.
Prestasinya di industri otomotif mengesankan, dianggap sebagai penyelamat Renault dari ancaman bangkrut dengan cara memotong pelbagai ongkos (periode 1998 – 2000), memenggal jumlah karyawan, mengetrapkan lean production system, dst.nya. Julukannya “Le Cost Killer”.
Carlos Ghosn juga dinilai berhasil menyelamatkan Nissan dari keterpurukan 1999, dengan jurus di sana-sini sama, di antaranya memotong jumlah karyawan. Awal tahun 2000-an julukannya bertambah, “Mr. Fix It”.
Pada 2002, setelah kondisi keuangan Nissan membaik, Majalah Fortune, media yang fasih menjunjung kapitalisme AS, memberinya penghargaan Asia Businessman of the Year. Hasil survei gabungan Financial Times dan PricewaterhouseCooper juga menetapkan Carlos Ghosn sebagai most respected business leader 2003, kemudian the third most respected business leader in 2004 dan 2005.
Maka Carlos Ghosn, CEO Renault merangkap CEO Nissan, kemudian Oktober 2016 Chairman Mitsubishi (setelah Nissan menguasai 34% saham Mitsubishi), jadi selebritas dunia. Di Jepang terbit kronikel komik (manga) tentang dirinya.
Kehidupan pribadinya pun berubah, lebih senang dandan, ganti tata rambut, tingkahnya di depan publik dari semula biasa saja jadi kelihatan makin menikmati sambutan dan tepuk tangan di setiap event, dll.