Rabu, Desember 25, 2024

Sukses bisa jadi kutukan?

Must read

Kemudian pada 19 November 2018 Carlos Ghosn ditangkap polisi di Tokyo International Airport, dengan tuduhan memalsukan laporan gaji dan menyalahgunakan aset perusahaan. Tanggal 22 November ia dicopot sebagai Chairman Nissan dan 26 November Mitsubishi pun memecatnya.

Semula Renault dan Pemerintah Prancis menganggap Carlos Ghosn tidak bersalah, sampai ada pembuktian. Namun akhirnya fakta lebih kuat dibandingkan asumsi: pada 24 Januari 2019 Renault mempensiunkannya sebagai chairman dan CEO. Juni tahun itu juga, Renault menemukan kejanggalan penggunaan uang 11 juta Euro oleh Carlos Ghosn.  

Dalam status sebagai tahanan luar, Carlos Ghosn menyewa jasa pengamanan pribadi dari AS melarikan diri dari Tokyo. Ia bersembunyi di sebuah peti peralatan musik dan terbang menggunakan jet pribadi lewat Turki ke Lebanon, 30 Desember 2019. Tanggal 2 Januari 2020, Interpol mengeluarkan red notice ke Lebanon agar Carlos Ghosn ditangkap.

Statusnya sekarang buron. Di Netflix ada film dokumenter Fugitive: The Curious Case of Carlos Ghosn (2022).

Kondisi Carlos Ghosn beda dengan sosok di alinea ke-4 tulisan ini. Pak Bos ini tidak buron, karena para pemegang saham penentu sepakat tidak memperkarakannya ke pengadilan. Mereka fokus pada due diligence mendalam, menyewa kantor akuntan publik terpercaya, didampingi tim pengacara, membuktikan adanya financial misconduct – termasuk untuk bisnis pribadi, didukung kroni tanpa kompetensi memadai dan tidak ada akuntabilitas. Mantan CEO itu diminta memulangkan dana yang dia pakai.

Ternyata perilaku kepemimpinan yang mementingkan kemewahan pribadi CEO dan pendukungnya, mengabaikan kepatutan, tega memberi gaji seminim mungkin kepada karyawan — dan jika realitas tidak sesuai dengan fantasi bisnis mereka, karyawan pula yang mereka korbankan — demi memperkuat bottom line organisasi, masih sering terjadi sampai sekarang.

Atau malah bertambah dengan rentetan PHK di kalangan startup digital?

Para bos “pasugihan digital” (istilah dari Chief Editor Infobank Eko B.Supriyanto untuk startup digital) tidak bisa lagi mendewakan “valuasi bisnis”, yang antara lain ditentukan berdasarkan nilai asset/investasi dan perkiraan transaksi disandingkan perusahaan sejenis. Mereka kini mesti realistis, harus meraih profit. Biaya operasional diperkecil. Untuk itu cara paling primitif, dan keji, adalah PHK karyawan.   

Perilaku semacam itu memicu pertanyaan, apakah mereka itu sesungguhnya memiliki kompetensi memadai untuk memimpin ratusan atau ribuan pegawai atau bagaimana? Kenapa para pemenggal karyawan dalam cerita di atas, yang dalam pergaulan sosial dikenal baik dan dianggap berprestasi, kemudian, setelah sukses, pada kepeleset?

Pertanyaan tersebut juga layak diajukan karena ada contoh-contoh pemimpin organisasi – dari sektor usaha berbeda — yang pada berhasil meningkatkan kinerja usaha tanpa ada pemecatan karyawan dan bahkan approval rate dari serikat pekerja tinggi.

Di industri otomotif contoh utama Alan Mulally. September 2006, saat Alan Mulally masuk sebagai CEO, Ford Motor Company tercatat rugi US$ 17 milyar (billion), nyaris bangkrut, engagement karyawan kurang dari 40%, dan para eksekutifnya dikabarkan saling sikut.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article