#SeninCoaching:
#Lead for Good: Emotional courage needed
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Don’t wish it was easier, wish you were better. Don’t wish for less problems, wish for more skills. Don’t wish for less challenge, wish for more wisdom.” — Jim Rohn
Apa yang akan Anda lakukan jika para pemegang saham suatu perusahaan yang tengah mengalami krisis, katakanlah rugi ratusan milyar, mempercayai Anda sebagai CEO?
Para eksekutif berpendidikan pasca sarjana (MBA atau MM) universitas papan atas, berprestasi cemerlang di organisasi sebelumnya, cenderung akan menjawab pertanyaan tersebut di atas seperti ini: rampingkan organisasi, susun strategi baru yang lebih dapat diandalkan, waspadai keuangan, ciptakan pasar baru, tingkatkan kinerja tim, dst.nya.
Semua itu diutarakan penuh percaya diri. Disertai analisis sangat rasional.
Itu normal saja, tidak ada yang salah dengan pendekatan seperti itu. Namun, di situlah para eksekutif cerdas bisa terjebak oleh kerangka pemikiran mereka sendiri. Malah ada yang kemudian seperti kesasar dalam alur “strategi” yang ternyata jadi ruwet ketika realitas tidak seperti yang mereka prediksikan. Upaya perbaikan tersendat. Terjadi bottle neck.
Kenapa demikian?
Situasi tidak normal, ketika terjadi krisis yang belum pernah ada padanannya selama ini — bisa akibat pandemi atau perang Rusia – Ukraina, atau regulasi yang menghambat inovasi dan turbulensi lainnya — jelas tidak dapat diatasi berdasarkan pendekatan normatif, apalagi cara-cara lama.
Perubahan yang kita anggap normal saja, seperti kenaikan jabatan, tidak dapat disikapi berdasarkan perspektif dan adab kepemimpinan seperti sebelumnya, bahkan cara yang telah berhasil membantu kita meraih posisi sekarang tidak menjamin dapat diandalkan. Karena perilaku kepemimpinan semacam itu dapat menyebabkan sudden incompetence.
Para eksekutif tersebut bukan menjadi tidak kompeten, tapi mereka melakukan hal yang keliru, kata Peter Drucker, management guru kelas dunia yang ajarannya telah diterapkan oleh ribuan organisasi besar saat pertumbuhannya, seperti HP dan Facebook.
Penugasan baru, problem yang berbeda, tidak memerlukan kecerdasan atau bakat yang hebat. Tapi lebih membutuhkan konsentrasi penuh para eksekutif untuk mengatasi tantangan pada penugasannya sekarang.