#SeninCoaching:
#Lead for Good: Many of us trapped in impermanency
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Manusia memang bukan semuanya wali; tapi mungkin sejarah juga mengajari kita bahwa keadaan tak sempurna bukanlah dasar untuk terus-menerus menghalalkan kerakusan, keadaan tersebut justru untuk kesediaan ditegur, untuk mengerti rasa malu dan dosa.” — Goenawan Mohamad.
The Last Emperor, disutradarai Bernardo Bertolucci, menceritakan pergolakan hidup Pu Yi dan China. Saat masih balita Pu Yi dinobatkan oleh Empress Dowager menjadi Kaisar Xuantong (1908 – 1912). Tapi Pu Yi atau Yaozhi sebagai kaisar, bahkan ketika sudah dewasa, tidak pernah mampu mengendalikan pemerintahan. Akhir kehidupannya pun dijalani dengan pedih.
Xuantong merupakan kaisar boneka Empress Dowager atau Ci Xi, mantan selir Kaisar Xuanfeng, yang melalui intrik istana mengendalikan pemerintahan Dinasti Qing selama 50 tahun. Pu Yi sebagai kaisar karbitan juga kemudian jadi boneka pasukan Jepang yang menginvasi dan menguasai Manchuria.
Dinasti Qing berkuasa di China 1644 – 1911/12 berlandaskan monarki absolut. Pu Yi kaisar semu dari dinasti terakhir di China, menjelang negeri itu jadi republik — sebelumnya selama bertahun-tahun menuju dan di awal Abad 20 China menghadapi pelbagai pergolakan, pemberontakan, dan revolusi.
Para kaisar di mana pun — mungkin juga kekuatan intrik “orang-orang istana” yang menyedot benefit dari kesinambungan kekuasaan tuan mereka — selalu menginginkan anggota keluarga jadi penerus tahta.
Demikian juga dalam riwayat kedinastian di Rusia. Dinasti Romanov menguasai Rusia dari 1613 sampai 1917, tahun ketika kekaisaran digulingkan oleh Revolusi Bolshevik. Tsar Nicholas II menjadi kaisar terakhir Dinasti Romanov.
Musim gugur 1894 Nicholas II masih berusia 26 tahun saat menggantikan ayahnya, Alexander III, yang meninggal mendadak di usia 49 tahun. Nicholas II naik tahta kekaisaran Rusia karena dia keturunan keluarga Romanov, bukan berdasarkan prestasi apa pun. Dinobatkan sebagai tsar di Moskow 26 Mei 1896, di tengah kegamangan orang-orang dekat Alexander III.
Saat itu banyak pihak sudah meragukan Nicholas II bakal sanggup menjadi penguasa otokratik yang harus mengatasi banyak problem di imperium sebesar Rusia. Di masa pertumbuhannya Nicholas belum pernah mengalami tantangan hidup dan perilakunya juga kurang mengesankan.