#SeninCoaching:
#Lead for Good: Success delusion
Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
Goenawan Mohamad dalam satu wawancara di televisi menceritakan, Erry Riana Hardjapamekas menemui Presiden Jokowi di Istana sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan aturan batas usia calon presiden dan wakilnya.
Erry, Wakil Ketua KPK 2003 – 2007, menyampaikan keprihatinan kalangan intelektual, budayawan dan golongan yang menjunjung tinggi keadaban berbangsa atas stabilitas politik dalam negeri. Mereka berharap Jokowi tidak salah langkah.
“Saya catat”, kata Jokowi merespon aspirasi yang disampaikan Erry – sebagaimana dituturkan Goenawan kepada Rosiana Silalahi, pewawancaranya di Kompas TV.
Mungkin benar aspirasi Erry dkk dicatat, tapi kelanjutannya beda. Jokowi bertindak sesuai skenario keluarganya yang didukung kroni dan klik istana, memanfaatkan Ketua Mahkamah Konstitusi, iparnya, untuk menegaskan niat membangun dinasti politik, menyambung kekuasaan. Hasilnya telah menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik hari-hari ini.
Jokowi oleh sejumlah pihak dianggap sukses sebagai Presiden atau CEO Indonesia. Sebagaimana orang-orang sukses di lingkungan bisnis dan apalagi di politik, Jokowi ternyata tidak kebal dari sindrom yang mewabah menjangkiti orang sukses di level mana pun di pelbagai negara.
Hasil studi Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching selama lebih dari dua dasawarsa terhadap puluhan ribu eksekutif dan leaders yang dinilai berprestasi mendapati fakta, orang sukses cenderung mendekap erat tiga paradigma: I am successful; I choose to succeed; I will succeed. Ada plus dan minusnya.
Ringkasnya begini: Hal positif pada I am successful antara lain memiliki keberanian menerapkan kemampuan dan kekuatan-kekuatannya untuk bertindak menempuh jalan baru. Segi negatifnya, sangat sulit menerima masukan valid yang tidak sesuai dengan citra dirinya. Pada I choose to succeed, punya kebutuhan besar pada self- determination. Sisi negatifnya mudah terjebak “takhyul” atas pilihan-pilihan tindakannya.
Makin tinggi jabatan seseorang, bertambah pula peluangnya terpeleset pada “keyakinan semu” tentang langkah-langkahnya. Dalam konteks politik penyelenggaraan negara, sepak terjangnya itu memperoleh dorongan positif dari (utamanya) para kroni dan klik istana.
Di linkungan organisasi bisnis, kita dapat melihat CEO yang dikelilingi orang-orang yang bisa memberikan pendapat sesuai dengan yang ingin didengar bos; bukan yang seharusnya disimak bersama demi kinerja lebih baik.
Taklid pada I will succeed bisa positif, karena memiliki optimisme yang tidak tergoyahkan, bahkan cenderung tidak percaya ada faktor luar yang menentukan takdirnya.
Tapi keyakinan ini bisa sangat berbahaya, memicu selalu ingin menang at all costs – dalam penyelenggaraan negara sudah kita lihat faktanya, antara lain menyebabkan sistem hukum tata negara cidera, pelanggaran etika, dan contoh perilaku berbangsa tanpa adab.