#SeninCoaching:
#Lead for Good: Beware authoritarianism
Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
Kekuatan politik itu diwujudkan melalui laras senapan, kata Mao Zedong.
Ucapan Mao tersebut dibuktikan secara efektif oleh penguasa. Pemerintah pusat telah mengaduk-aduk dan memanipulasi pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai kehendaknya, demikian kata berita pelbagai media, pendapat praktisi hukum dan pakar politik dalam sejumlah podcast dan talk-show, serta menurut film Dirty Vote (sutradara Dandhy Dwi Laksono, dirilis 11 Februari 2024).
Semua membuka fakta, pada pemilu ini para perwira dan staf tentara/polisi diperintahkan atasan mereka di pusat agar mengarahkan aparat pemerintah di daerah sampai ke tingkat kepala desa untuk memenangkan pasangan calon presiden dan wakilnya yang dikehendaki penguasa.
Hasilnya? Sampai tahap sekarang calon tersebut sepertinya menang pemilu, hanya saja terjadi pelbagai kekisruhan perbedaan angka di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan angka-angka hasil olahan komputer KPU.
Sejumlah pakar politik, para praktisi hukum tatanegara, dan sederet pengamat dalam pelbagai forum secara terbuka – disertai bukti-bukti — memastikan telah terjadi kecurangan pemilu secara masif dan terorganisir.
Para mahasiswa dan pemuda mulai berkumpul memprotes cara-cara penyelenggara pemilu memanipulasi data dan angka. Seratus tokoh konferensi pers menolak hasil pemilu. Di sana sini mulai ada demonstrasi menggugat penguasa.
Itu akibat dari sekelompok manusia di arena politik telah secara keji menyembelih adab berbangsa, hukum bernegara, dan demokrasi, di altar persembahan kelompok itu hari-hari ini – altar yang menuhankan jabatan, kekuasaan, dan keleluasaan memanfaatkan uang negara (kata Menteri Keuangan, budget Pemilu 2024 Rp 71 trilyun) untuk menyalurkan nafsu politik pribadi dan keluarga. Ini mengingatkan pada perilaku kaisar-kaisar di China dulu.
Selain merusak tatanan hukum, memecah kekerabatan sosial, memperolok moral dan etika, mereka secara masif mengelabui masyarakat membangun halusinasi menang pemilu. Mereka berpotensi membentuk pemerintahan otoriter kalau bukan sistem kekaisaran.
Dalam podcast NBW yang dipandu Novel Baswedan di pekan keempat Februari, Dr. Ing. H. Ridho Rahmadi S.Kom. M.Sc, ahli IT yang secara obyektif melihat plus-minus IT KPU, mengatakan bahwa prosentase hasil rekapitulasi indikasinya sudah diatur, sehingga data dan angka yang masuk bagaimana pun akan menghasilkan prosentase di atas 50% bagi calon yang dikehendaki penguasa.
Sisanya dilempar ke paslon lain. Fakta bahwa server KPU juga dikelola oleh kontraktor swasta asing (China) memperlihatkan kedaulatan Indonesia telah dijadikan obyek dagangan oleh penguasa dan kaki-tangannya.