#SeninCoaching:
#Lead for Good: We need emotional agility
Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
HMS Defiant merayap tenang saat senja merengkuh laut. Kapal perang kelas dreadnaught ini, yang diperkenalkan awal Abad 20, lebih besar dari generasi sebelumnya, bobotnya 35.000-ton dilengkapi senapan-senapan kaliber besar.
Kapten baru saja menikmati suasana matahari tenggelam di cakrawala dan siap turun dari anjungan untuk makan malam, ketika petugas pengawas lapor ada cahaya lampu di arah depan. “Gawat. Jaraknya sekitar dua mil, Sir.”
Kapten berbalik, minta konfirmasi, “Kelihatan diam atau bergerak?”
“Diam, Kapten,” jawab petugas. Itu hari-hari ketika radar belum jadi kelaziman.
“Kalau begitu kasih aba-aba,” kata Kapten dengan galak, “Sampaikan kepada mereka, ‘kalian berada di jalur yang bisa tabrakan, ubah arah 20 derajat.’”
Sesaat kemudian ada jawaban dari sumber cahaya tersebut, “Anda disarankan perlu mengubah arah 20 derajat.”
Kapten sewot, perintahnya ditentang, bahkan di depan anak buahnya, seorang pelaut yunior. Lantas dia menghardik, “Kirim pesan lagi, ‘ubah arah kalian 20 derajat’, kasih tahu bahwa kita adalah HMS Defiant, kapal perang kelas dreadnaught.”
“Brilliant, Sir,” demikian respon dari sumber cahaya. “Saya Pelaut O’Reilly, kelas dua. Ubah arah Anda segera.”
Dengan geram dan muka memerah, Pak Kapten memekik, “Kami kapal Admiral Sir William Atkinson-Wiles. UBAH ARAH KAMU 20 Derajat.”
Sepi beberapa saat, sebelum akhirnya Pelaut O’Reilly menjawab lagi, “We are lighthouse, Sir.” Tentu mustahil menggeser mercu suar.
Kemarahan di luar kendali seorang kapten kapal bisa mengakibatkan bahteranya menabrak mercu suar atau terdampar di karang-karang seputar menara cahaya yang membantu navigasi kapal-kapal yang lewat di dekatnya tersebut.
Cerita di atas, diambil dari kisah tahun-tahun awal Abad 20, menggambarkan seseorang dalam posisi pimpinan yang gagal mengendalikan diri, merasa kuat, membawa-bawa nama bos tertinggi, berperilaku congkak. Memaksa semua pihak di hadapannya untuk patuh memenuhi kehendaknya atau menyingkir — bahkan ketika pihak lain tersebut berniat memberi aba-aba bakal ada bahaya.
Kapten HMS (His/Her Majesty Ship) Defiant punya masalah serius pada perilaku kepemimpinannya – arogan, tidak mau menimbang masukan pihak lain, killing the messenger.
Perilaku semacam itu di organisasi dapat menjangkiti CEO atau anggota direksi yang cenderung tidak sabaran memberikan ruang dan waktu ke tim untuk menyampaikan pikiran. Menganggap diri paling benar dan pintar, judgmental, dan variasi masalah psikologis lainnya, seperti ngotot mempertahankan citra diri dan status atau jabatan.