Inilah akibat dari kekuasaan yang tidak terbatas, selain tidak bertumbuhnya organisasi, kualitas SDM pun sulit beradaptasi dengan tuntutan perubahan.
Power addict
Kuasa didefinisikan oleh para ahli sebagai kemampuan atau kapasitas untuk mengarahkan dan memengaruhi tingkah laku orang lain, bahkan kejadian, tanpa pengaruh ke diri mereka sendiri. Kuasa bisa tampil dalam bisnis, pemerintahan, sampai lingkup terkecil kepala keluarga yang menjadi breadwinner.
Seorang pemimpin memang memerlukan kuasa. Dalam organisasi kita menyebutnya sebagai otoritas atau wewenang, yang kemudian diimplementasikan dalam keputusan, arahan, perintah, atau komando. Meski demikian, bila tidak ada batas dalam kekuasaan, mulailah kerusakan terjadi.
Sejarah menunjukkan, perang timbul manakala pemimpin menghendaki kekuasaan tunggal tanpa batas. Kita melihat bagaimana Stalin, Hitler, dan Idi Amin menjalankan kediktatorannya. Putin yang melanjutkan kekuasaannya lebih dari 15 tahun pun melakukan ekspansi ke Ukraina untuk menuntut mereka tunduk padanya.
Kuasa juga bisa menjadi adiksi, membuat si empunya yang terbuai berusaha mempertahankan posisinya. Mempersiapkan suksesi menjadi sekadar wacana yang tidak terealisasi. Profesor Gerben van Kleef dari University of Amsterdam mengatakan, pemimpin dengan kuasa yang besar biasanya juga meyakini bahwa ia adalah role model yang lebih baik dibanding orang lain di sekitarnya.
Seperti kata Abraham Lincoln, “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” Tampaknya kita semua perlu berhati-hati dengan kekuasaan ini bila tidak ingin tersedot ke dalamnya hingga berubah menjadi orang yang tidak lagi kita kenali.
Menjaga kualitas kepribadian
Psikolog David McLelland mengatakan, ada tiga kebutuhan dasar yang dapat mendorong individu untuk mendominasi dan mengendalikan orang lain, yaitu need for power, affiliation, dan achievement. Tanpa kebutuhan akan kekuasaan, tanggung jawab kepemimpinan akan terasa terlalu membebani. Namun, kekuasaan juga bekerja bagaikan antidepresan dalam otak.
Sebagaimana kita tahu, antidepresan yang dikonsumsi terus-menerus dalam waktu lama akan berakibat buruk pada otak hingga melemahkan kemampuan mengendalikan dirinya. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris Lord Owen yang adalah dokter sekaligus politikus. Ia bilang bahwa gejala hubris syndrome ini diderita oleh Margaret Thatcher, Tony Blair, dan George W Bush.
Hampir semua pemimpin yang mempertahankan posisinya lebih dari sepuluh tahun, berpotensi terkena sindrom haus kuasa ini. Situasi ini perlu dihindari, tidak karena ancaman politis saja, tetapi juga risiko terhadap kesehatan otak si pemimpin itu sendiri.