Sabtu, November 16, 2024

Presiden kebal hukum?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Be human, please

Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach.

Dalam satu diskusi pekan lalu di Institut Peradaban Jakarta, seseorang mengatakan bahwa presiden kebal hukum. Siapa pun yang mengucapkannya, ini tentunya sangat penting.

Forum diskusi rutin di Institut Peradaban (IP) – lembaga nonprofit yang diprakarsai Prof. Dr. Jimly Asshiddiqy dan Prof. Dr. Salim Said — selalu dihadiri sosok-sosok matang di bidangnya, ada mantan duta besar, menteri, jenderal yang berperan penting dalam sejarah kekuasaan, politisi, pengusaha, wartawan senior, plus pejabat publik masih aktif. Maka setiap ucapan dan kalimat dari mereka layak diperhatikan sungguh.   

Pernyataan “presiden kebal hukum” memicu penggalian pemahaman lebih jauh tentang kepemimpinan siapa pun yang tengah dalam posisi memegang kekuasaan. Apakah presiden mahluk lebih tinggi dari manusia biasa, kok kebal hukum?

Tak jauh beda hari, Budiman Tanurejo menulis tentang realitas pemerintahan negara. Katanya, kepresidenan lembaga tanpa undang-undang (opini Kompas, 21 Maret 2024). Ini juga berkaitan dengan perilaku kepala negara yang cenderung tidak mau dibatasi kekuasaannya.

Tanpa undang-undang yang mengaturnya, seorang presiden memang bisa saja lantas menuhankan nafsu pribadi dan kepentingan keluarga plus kroni, dibanding mengatasi kesulitan rakyat dalam realitas kehidupan sehari-hari. Lantas mengabaikan hukum dan mematikan demokrasi.  

Apakah RI sesungguhnya berada di bawah kendali shadow government — kekuatan-kekuatan pribadi dan organisasi di balik layar, termasuk para oligarchs dan pedagang konsesi wilayah sensitif negara yang tidak tersentuh oleh lembaga demokrasi dan nalar publik?

Kita mungkin baru menyadari ternyata “wabah fir’aunisme”, menuhankan dirinya agar berhak di atas hukum, atau tabiat buruk para kaisar di China masa lalu, dapat menjangkiti siapa saja yang tengah mencandu kekuasaan. Tentu para kroni dengan gusto akan memanfaatkan tendensi itu.   

Kaisar-kaisar di China selalu mengklaim bahwa kekuasaan mereka “mandat (ming) dari Tuhan”, Tian ming.

Ketika pemerintahan dirasakan merugikan rakyat, para pemimpin rakyat dan kalangan terpelajar biasanya merasa wajib, terpanggil, memimpin gerakan mematahkan (ge) “mandat” tersebut atau geming – artinya revolusi.

Sejarah peralihan kekuasaan di China nyaris selalu ditempuh lewat geming, jalan revolusi. Contohnya, Sun Yat-sen, Ketua Partai Nasionalis (Guomindang), dikenal sebagai Bapak China Modern, menumbangkan Dinasti Qing dan menjadi Presiden Republik China (1911/1912).

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article