Dalam perspektif agama Islam, kata kalangan ulama, Tuhan memberi manusia “kemampuan berkehendak” memilih jalan yang disediakan, jalan baik dan jalan keburukan – an-najdain. Jalan baik itu Najd dalam substansinya. Jalan buruk juga Najd, tapi bukan substansinsinya, menurut anggapan yang menelusurinya (Tafsir Al Misbah).
Membiarkan perilaku kepemimpinan kaisar berlama-lama merugikan rakyat bisa dianggap “memilih jalan keburukan.” Rakyat di pelbagai tempat di dunia ini galibnya selalu memilih jalan yang baik. Dalam pergantian kekaisaran di China lewat geming, mematahkan “mandat”, di Rusia dalam bentuk revolusi Bolshevik menggusur Tsar Nicholas Romanov dari kekuasaan. Itu pilihan rakyat mereka.
Meiyou renmin meiyou lingdao, (terjemahan) kata Sri Sultan HB X dalam suatu wawancara dengan seorang wartawan senior Xinhua News yang datang dari China ke Yogya, lebih dari 10 tahun silam, di Kepatihan, kantor pemerintahan DIY. Saat itu saya bersama mereka. Maksud kata-kata tersebut: “Tanpa rakyat, tidak ada pemimpin.”
Dapat ditafsirkan: Kalau rakyat tidak bahagia, tidak diurus dengan bijak sebagai manusia utuh, hanya dianggap sebagai sederet perut kosong yang perlu diberi bantuan sosial saat kampanye politik, maka pemimpin negara itu tak lebih dari seonggok mahluk hidup yang dapat dipertanyakan kemanusiaannya. Bangsa menjalani hidup tanpa visi, mudah terpolarisasi. Pemegang kekuasaan pemerintahan bisa kehilangan legitimasi.
Tantangan terbesar hari-hari ini dalam politik, di sektor usaha, institusi pemerintahan, bahkan tampaknya di wilayah nonprofit juga, adalah, para eksekutifnya baru di level pimpinan, masih belum jadi pemimpin.
Mereka belum sanggup jadi manusia yang mengotimalkan potensi-potensi baik anugerah Tuhan. Mereka, termasuk presiden atau perdana menteri, seperti mesin, bagian dari sistem yang dikontrol para pengendali utama shadow government.
Pola kepemimpinan di organisasi bisnis dan politik, kelihatannya juga di sebagian kalangan aktivis sosial, yang diragukan bobot kemanusiaannya tersebut indikasinya akibat pelatihan-pelatihan mereka masih didominasi semangat feodalistis dan pengaruh teori sosiolog Jerman Max Weber abad silam – sangat hirarkis, rules, kontrol segala lini, impersonality, accountability, dan ownership terpilah.
Dalam kondisi sosial, politik, dan ekonomi stabil, pendekatan tersebut di organisasi memberikan results sesuai perkiraan. Sampai tahun 1960-an buku-buku manajemen dan praktik di organisasi taklid pada teori Max Weber.
Abad 21, utamanya belasan tahun belakangan ini, ketika kondisi lingkungan demikian dinamis, disruption selalu terjadi di pelbagai sektor, dari pendekatan kepemimpinan lama tersebut yang masih relevan hanya accountability.
Pelbagai survei lembaga-lembaga kredibel, sepertti Accenture dan Mc Kinsey, menyimpulkan, kepemimpinan yang berhasil mengatasi pelbagai goncangan dan ketidakpastian didominasi perilaku yang lebih manusiawi. Para eksekutif kompeten di bidang human skills (lebih dari sekadar technical skills), sangat inklusif, memuliakan kebersamaan dengan tetap menjaga akuntabilitas masing-masing, tim merasa aman berpendapat beda dengan atasan mereka.