Kita perlu selalu menyadari, secanggih apa pun teknologi yang diandalkan oleh suatu organisasi, para pemimpin dan tim operator sehari-harinya tetap manusia-manusia yang lazimnya sudah memiliki belief dalam diri masing-masing – terkait agama, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya.
Mereka yang kita rekrut dan kita gaji tersebut belum tentu mudah diajak mengubah pola pikir mereka, mengikuti sepenuhnya setiap garis kebijakan organisasi. Apalagi jika tidak selaras dengan belief mereka.
Belief merupakan urusan pelik. Dalam kenyataan di organisasi-organisasi bisnis, nonprofit dan institusi pemerintah, tim atau karyawan yang kaku memegang belief mereka cenderung berperilaku “ogah-ogahan” melaksanakan inisiatif perubahan.
Hasil survei dan interaksi Adrian Gostick bersama Chester Elton dengan ratusan organisasi di pelbagai negara mengungkapkan ekspresi perlawanan karyawan yang paling sering terjadi di organisasi — (All In, How the Best Managers Create a Culture of Belief and Drive Big Results, 2012).
Di antaranya attitude bolstering. Mereka akan menyodorkan fakta-fakta yang menopang posisi mereka tanpa secara langsung menolak ajakan (perubahan) atau bahkan tidak memperlihatkan kemauan menempuh jalan baru yang bisa lebih baik.
Ada juga yang counter-arguing. Secara terbuka atau di balik punggung atasan, karyawan menangkis upaya menata ulang pola pikir dan perilaku mereka, kadang disertai komentar sumbang.
Maka, siapa saja yang dipercaya memimpin tim atau apalagi organisasi, sebaiknya mampu memahami kompleksitas tersebut dan bersedia latihan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kompetensi diri.
Hasil multi-year study yang disponsori Accenture Institute for Strategic Change, survei terhadap para eksekutif di 200-an organisasi multinasional, mengungkapkan 15 kompetensi yang sepatutnya dimiliki oleh setiap pemimpin organisasi agar lebih mampu mengatasi tantangan pasar yang dipengaruhi globalisasi hari-hari ini.
Salah satu dari 15 kompetensi yang diperlukan untuk sukses adalah mampu mengembangkan pola pikir dan bertindak boundary-less inclusion, menyelaraskan pelbagai belief, empowering people, dan membangun budaya. Semua itu bisa dilatih dengan pendekatan yang tepat dan hasilnya sebaiknya diukur secara periodik, agar akuntabilitas terjaga.