Senin, November 18, 2024

Salim Said: A Grand Success

Must read

Obituari

Oleh Hamid Basyaib

Bang Salim suatu sore melakukan apa yang hampir tak pernah dilakukannya: menelepon saya. Ia berharap agar saya menerjemahkan buku mashur karya Zbigniew Brzezinski, “The Grand Failure: The Birth and Death of Communism of the Twentieth Century.” Itu buku terbitan lebih dari tiga puluh tahun lalu. Mengapa ia “tiba-tiba” ingin buku itu diindonesiakan?

“Buku penting itu jarang dibaca orang di sini karena belum pernah diterjemahkan,” katanya. “Bagi yang sudah membacanya pun perlu diingatkan lagi.”

Ia lalu menyebut nama sebuah lembaga yang ia yakini mau menyeponsori penerjemahan dan penerbitan karya Brzezinski, seorang mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Amerika (NSC).

Itu buku yang cukup mudah diterjemahkan, tapi saya harus mencuri waktu khusus untuk mengerjakannnya. Karena itu saya tidak langsung menyanggupi, tak juga menolaknya, hanya berjanji akan menjajaki segala kemungkinannya. Besoknya ia mengirim buku tebal itu, disertai sebuah buku tipis karya Soe Hok Gie.

Tampaknya usul penerjemahan “The Grand Failure” adalah bagian dari minat besarnya terhadap jatuh-bangun Komunisme. Dalam beberapa tahun terakhir ia memang semakin intens meminati isu ini, seperti terlihat dari beberapa buku yang ditulisnya.

Sebagian isi buku-buku itu didasarkan pada pengalaman pribadinya sebagai wartawan harian “Angkatan Bersenjata”, di masa puncak ketegangan politik dengan naiknya pamor Partai Komunis Indonesia, dan kian gencarnya Angkatan Darat mengawasi dengan cemas popularitas PKI itu.

Sebagai wartawan koran milik ABRI dalam usia awal 20an, Salim terlibat jauh dalam dinamika politik yang menjadi kesibukan harian para seniornya, dan sangat yakin ia harus berdiri di pihak mana dalam “perang dingin” antara Angkatan Darat dan PKI.

photography of camera reel film
PEXELS

Dalam salah satu buku, misalnya, ia sebagai wartawan — yang dibekali pistol oleh patronnya di koran AB, Brigjen Sugandhi — mendatangi rumah Dipa Nusantara Aidit di Jakarta yang dihancurkan massa setelah peristiwa G30S. Ia ingin tahu bagaimana kondisi kediaman Ketua PKI yang mashur itu, yang saat itu sudah ditembak mati di persembunyiannya di Boyolali, Jawa Tengah.

“Kondisi rumahnya benar-benar berantakan,” tulis Salim. “Di ruang tamu, meja kursi terbalik malang melintang, kaca-kaca pecah di sana-sini. Di bagian belakang saya lihat ada seorang lelaki tua yang berwajah Arab.”

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article