Salim Haji Said ingin melihat dari dekat bagaimana tentara Mesir akhirnya merasa tak bisa tinggal diam dan bangkit mematahkan kekuatan Ikhwanul Muslimin yang menggelorakan euforia berkat keberhasilan tokohnya menduduki kursi presiden.
Ia ingin mewawancarai Jenderal Al Sisi, dan sibuk menyiapkan keberangkatan ke Kairo. Ia tak kesulitan mendapatkan akses untuk itu. Agaknya ia ingin menulis studi perbandingan antara keberhasilan tentara Indonesia dalam menumpas gerakan pemberontakan Islam NII (juga belakangan, PKI) dan sukses tentara Mesir dalam mematahkan ambisi politik Ikhwan.
Setelah tak kunjung mendapatkan sponsor finansial, ia mengubur keinginan itu, dan mungkin kemudian merasa cukup dengan menuliskan perbandingan garis-besar antara sukses Angkatan Darat kedua negara.
Ia menyumbangkan 10.000 koleksi perpustakaan pribadinya (buku, video, kaset, majalah dsb) kepada Universitas Islam Indonesia Yogyakarta — apakah ini bagian dari “kesadaran religius”nya?
Para pengunjung sekarang bisa menikmati “Salim Said Corner” di kampus itu; ia sedang menyiapkan sumbangan gelombang kedua untuk universitas yang sama.
Ia sering menggerutu terhadap kecilnya uang pensiun sebagai bekas dutabesar. Tapi tampaknya ia cukup puas dengan honor dan mobil dinas yang diterimanya sebagai penasihat Kapolri.
Ia, yang belakangan mengganti topi golf favoritnya dengan peci hitam piramidal yang menjulang, dengan rambut menjulur ke delapan arah karena sering tak sempat dicukurnya, kemudian banyak mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pada pilpres 2019, sikapnya mencapai tingkat yang ganjil dan mengherankan: sebagai pelajar politik seumur hidup ia hadir di pertemuan besar di Surabaya pada 14 Februari 2019 atau tiga hari sebelum hari pencoblosan, padahal acara itu semacam “pelantikan tak resmi” untuk kabinet baru yang saat itu dipimpin capres Prabowo Subianto.
Ia tampak merasa tak ada fatsoen yang ia langgar dengan terlibat dalam rapat akbar yang mengasumsikan Prabowo-lah yang pasti akan menjadi presiden — suatu tendensi tindakan fait accompli yang tidak pernah terjadi dalam sejarah pilpres di Indonesia dan dunia.