Kamis, November 14, 2024

Selamat Tinggal Jokowi, Selamat Tinggal Cita-Cita Republik?

Must read

Hal-hal mendasar yang seharusnya tidak salah malah dibikin jadi permainan. Tahun 2012, saya berharap Jokowi akan melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan. Melakukan lompatan yang tidak pernah mampu dilakukan sejak tahun 1945: memberi ruang Indonesia.

Republik adalah organisasi moderen. Di Indonesia diterjemahkan bebas. Seperti terjemahan Super Man (Manusia super), ketika di-Indonesiakan menjadi Suparman. Tanpa kaidah, semua boleh. Orang yang berkuasa tidak eling. Begitu buruknya hingga orang memilih diam, karena malu untuk komentar. Mengapa kita menjadi seburuk ini?

Para pimpinan organisasi moderen Indonesia tidak mampu berpikir abstrak. Bukan cuma seperti bekas jendral macam Luhut, tetapi juga sama eks orang marketing macam Bambang Pacul, atau guru besar intelijen Indonesia Hendropriyono.

Salah satu kekeliruan mendasar adalah ketiganya mengamini bahwa kekuasaan, dan darah adalah satu. Republik dimengerti bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama. Ruang publik seharusnya tetap dijaga agar ada yang disebut ‘warga negara’. Yang sedang terjadi adalah republik dihapuskan, dan klan/trah keluarga dibesarkan.

Ucapan Bambang Pacul orang PDIP soal Megawati-Puan, tak ada bedanya dengan ucapan Luhut atau Hendro tentang Jokowi-Gibran. Era kerajaan sudah sepakat diganti Republik, dan kini kita diajak untuk What’s on Google? berbicara soal pewarisan berbasis darah atau dinasti. Kekeliruan yang dibikin di Jakarta, direproduksi secara masif di berbagai pelosok.

Cina untuk bisa menjadi negara super power dalam tempo yang ‘amat cepat’, menempuh jalan radikal dengan sekian revolusi kebudayaan. Perancis juga sama satu abad sebelumnya.

Sedangkan Indonesia, entah sedang kemana. Jika semua ‘rasa peradaban’ dihilangkan dan rakyat dipaksa mengerti maunya para pejabat negara, dan rumus yang dipakai hanya lah ‘kesejahteraan ekonomi’ maka pertaruhannya adalah jika Bank Indonesia bubar maka seluruh struktur Indonesia bubar. Dialog-dialog khas musyawarah untuk mufakat seperti yang dicantumkan dalam Sila Keempat Panca Sila dilupakan begitu saja.

Negara dan politik kesejahteraan

Di level negara, di level republik seharusnya pimpinan negara tidak dalam posisi pedagang. Untuk bisa mengorkestrasi jutaan simpul kelembagaan, satuan pembicaraannya seharusnya bukan kepentingan (interest), tetapi ‘kebaikan bersama’. Pandangan mata seorang kepala negara dan elit negara tidak boleh hanya ada dalam tubuhnya, maupun sel-sel hasil pembelahan dirinya. Skenario reproduksi negara harus dipikirkan secara saksama untuk kehidupan bersama.

Langgam Aristotelian ini merupakan jalan tengah, agar kehidupan yang menjadi puncak, dan bukan kematian dan ilusi kemajuan. Kengerian demi kengerian muncul ketika membaca dialog-dialog yang diliput media. Kesalahan dan tragedi yang sudah bisa terbaca, sejak kata-kata keluar tanpa dihitung bobotnya untuk negeri.

Jika hari-hari ini pengertian republik sedang dikorupsi menjadi dinasti, maka nasib Indonesia tak cukup panjang. Peringatan ini perlu disampaikan. Struktur militer saja tidak cukup untuk menjadi rantai persatuan. Tanpa ideologi republik, tidak mungkin militer bisa berfungsi.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article