Oleh Heru Subagia
Ketidakberdayaan membendung politik pencitraan mengakibatkan terjadinya distorsi menyeluruh dari output kebijakan dan pengelolaan negara. Nampak dari luar begitu hebat dan heboh hingga menghipnotis, memberikan pesona manjur menaklukkan dan meluluhkan rakyatnya. Dalam waktu yang sama, kekuasaan diraihnya, dikelola dan dimanfaatkan secara ugal-ugalan.
Defisit anggaran terus melebar, sementara hutang luar negeri nyaris menyentuh rasio 40 persen dari PDB. Artinya, kondisi keuangan sudah darurat, APBN bisa jebol karena pengelolaan anggaran yang tidak hati-hati, akibatnya seluruh operandi penyelenggaraan negara terganggu atau mogok. Berakhir dengan kericuhan dan juga puncaknya adalah huru-hara politik.
Namun nemikian, Ketika keuangan anggaran negara sedang sekarat, setidaknya uang senilai Rp 88 miliar dihabiskan untuk persiapan Pelaksaan Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia atau HUT ke-79 Republik Indonesia yang berlangsung di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan Jakarta.
Bagi Presiden Jokowi, ritual HUT RI di IKN dijadikan landmark akhir kepemimpinan sebagai Presiden RI. Dipatenkan sebagai simbol legitimasi politik, menjadi pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia sentris. HUT RI di IKN juga bisa dipahami sebagai atraksi sebuah pergelaran transaksi ekonomi dan politk yang dipersembahkan untuk para sahabat, keluarga dan juga pengusaha yang sudah memberikan kontribusi besar bagi kepemimpinan dan keberlangsungan Jokowi menjabat 2 kali sebagai Presiden RI.
Bagi Jokowi akan merasa puas dan bangga untuk pertama kalinya peringatan HUT RI digelar di IKN Nusantara. Jokowi telah sukses melampiaskan ambisi dan juga merealisasikan mimpinya agar bisa menggelar Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi di IKN. Dengan berbusana adat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin upacara peringatan HUT RI di Istana Garuda IKN.
Kemerdekaan Palsu
Di balik mengagumi IKN dan perayaan HUT RI ke-79, kesemuanya terasa bergetar, bergemuruh dan meledakkan rasa nasionalis, perwujudan. Menjadi entitas kesadaran baik secara pribadi atau pun kolektif bagian pemilik bangsa. Namun demikian, kesemua asa dan rasa adalah palsu, dikubur oleh kuatnya pencitraan serta pengkondisian secara menyeluruh. Bangsa ini sudah final terbukti dalam kungkungan, cengkraman dan juga hanya dikendalikan oleh secuel individu berkuasa dan berpengaruh.
Kiamat kemerdekaan Indonesia sedang terjadi dan akan terus berlanjut. Masyarakat tidak merdeka secara utuh atau sempurna. Nyaris sekali jika hamparan masalah dan problematika melekat dalam sendi-sendi kehidupan baik yang prinsipal hingga penyerta. Seolah-olah rakyat harus memborong dan dipaksakan menerima keadaan buruk yang sedang menyelimuti masyarakat Indonesia dari Sabang ke Maraoke.
Situasi Mencekam
Di hari Kemerdekaan ke-79 adalah bukti sejarah sangat kelam dan suram, bagaimana bangsa Indonesia sedang merayakan kemerdekaannya di tengah titik nadir kegagalan dan keputusasaan sedang meledak. Baik rakyat dan pejabatnya sedang terjerembab dan sedang melakukan praktek-praktek kejahatan moral dan etika.
Produk pemilu baik legislatif dan eksekutif berakhir pada keputusan politik bersama yang menjerumuskan, keluar dari koridor cita-cita Reformasi. Kesepakatan dan justifikasi mengakibatkan produk kabijakan dan implementasi biaa dan timpang. Hanya akan mengakomodasi siapa menjadi tuan dan pemodalnya. Oleh karenakan yang didapatkan adalah sebuah kemerdekaan untuk bersekongkol, berbagi peran dan akhirnya jatuh dalam kemiskinan kemerdekaan sesungguhnya.