Ketika realitas politik memaksa Jokowi untuk mengambil keputusan yang kompleks, yang sering memerlukan kompromi, masyarakat mulai merasa kecewa. Sebagian relawan pendukungnya begitu juga.
Kekecewaan ini mengarah pada proses devaluasi, di mana Jokowi tidak lagi dilihat sebagai sosok yang sempurna. Setiap kebijakan yang diambilnya, bahkan yang memiliki dampak positif, mulai ditafsirkan sebagai bukti bahwa dia “berubah” menjadi sosok yang lebih memihak kepentingan elite dan keluarganya.
Dalam hal ini, perasaan cinta yang dulu kuat terhadap Jokowi berbalik menjadi kebencian, sebagai cara untuk mengatasi rasa kecewa yang mendalam. Orang tak lagi menyebut Jokowi, tapi Mulyono, dengan penuh cibiran.
Pengaruh Identitas Kelompok
Perubahan sikap masyarakat terhadap Jokowi juga dipengaruhi oleh dinamika identitas kelompok. Ketika Jokowi pertama kali mencalonkan diri, banyak pendukungnya yang merasa bangga menjadi bagian dari “kelompok” pendukung Jokowi.
Seiring waktu, jika kebijakan yang diambilnya bertentangan dengan nilai-nilai kelompok tersebut, rasa identifikasi ini mulai memudar. Masyarakat merasa bahwa Jokowi tidak lagi mewakili mereka, sehingga muncul perasaan terasing dan bahkan dikhianati.
Fenomena ini dapat dilihat dari semakin banyaknya narasi di media sosial yang mengkritik Jokowi secara personal. Banyak relawan dan pendukung awal yang merasa bahwa ia telah berubah menjadi bagian dari sistem yang dulu ia kritik, dan ini memicu pergeseran sikap dari mendukung menjadi menolak.
Mereka inilah yang menulis status atau konten yang nyinyir, meradang, mencela, atau memaki Jokowi nyaris setiap hari di berbagai platform media sosial. Termasuk omon-omon pedas di berbagai podcast.
Sewaktu narasi negatif ini menyebar dalam ruang publik, terutama melalui media sosial, persepsi bahwa Jokowi “tidak seperti dulu lagi” pun makin menguat dan memengaruhi opini publik secara lebih luas. Anehnya, lembaga survei menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi masih tinggi.
Dari Harapan ke Kekecewaan
Perubahan sikap sebagian masyarakat Indonesia terhadap Jokowi setelah ia purnatugas adalah contoh klasik dari bagaimana harapan yang tinggi berbenturan dengan realitas politik yang penuh kompromi, seperti yang dikhawatirkan Jokowi dalam wawancara dengan TIME.