Adab di lingkungan bisnis menyebut penyelarasan visi dan misi sebagai alignment process. Di wilayah politik, di masa Mao, Hitler, Mussolini, atau di Korea Utara sampai belakangan ini istilahnya indoctrination. Dalam tradisi baru pengembangan organisasi sekarang lazim dikemas dalam bentuk bootcamp. Anda boleh saja menyebutnya “pembekalan”.
Apapun sebutannya, penyelarasan visi dan misi itu penting – sesuai takaran masing-masing organisasi, institusi, atau kebutuhan pemerintahan suatu negara.
Bukankah sering kita saksikan sejumlah kasus penyimpangan para pengambil keputusan di level pelaksana – direktur atau general manager di bisnis; kepala kementerian atau dirjen di pemerintahan; kepala divisi di institusi lainnya – akibat mereka tidak loyal pada visi dan misi bersama?
Apa akibatnya kalau ada menteri-menteri atau dirjen atau kepala badan mengutamakan agenda pribadi dan partai ketimbang kepentingan nasional, sebagaimana yang sudah lebih dari sekali terjadi?
Kalau tidak aligned, tidak selaras, ibarat dansa bersama, para pejabat publik setingkat menteri atau kepala badan akan menginjak kaki presiden atau seorang direktur menyerimpet langkah CEO.
Kesengajaan menjegal kepentingan nasional bisa berupa, antara lain, menghentikan program terpuji untuk kepentingan publik/stakeholders karena pengambil keputusan tidak cocok dengan kepala negara – bisa akibat beda partai atau lainnya. Itu dikabarkan belum lama ini terjadi di sebuah badan yang ditugaskan merawat keluarga sejahtera.
Sabotase kepentingan bersama bisa pula berupa penyimpangan keuangan. Pejabat publik menggangsir uang proyek atau menelikung anggaran negara untuk disetor ke pundi-pundi partai dan pribadi.
Namun, pembekalan, alignment process, bootcamp, atau apa pun namanya, akan menghadapi tantangannya sendiri. Jika melebihi takaran, overdose, dapat menimbulkan rasa tidak nyaman.
Pada kenyataannya suatu lembaga, apalagi penyelenggaraan negara, tidak bisa dikembangkan bermodalkan hanya kata-kata, jargon-jargon penyemangat, dan rencana seindah apa pun. Publik atau stakeholders mustahil diajak berhalusinasi, apalagi berkepanjangan, misalnya dipaksa menelan data-data statistik yang diperoleh dengan metode handal tapi dibebani kepentingan politik yang lancung sehingga jauh dari realitas – sebagaimana sudah sering kita hadapi.
Masyarakat, stakeholders, juga customers (bagi organisasi bisnis) memerlukan selarasnya kata dengan tindakan dan hasil kerja nyata. Slogan tanpa results dapat menjeremuskan akal sehat.