“Tidak ada hotel yang melarang orang merokok. Mereka telah disediakan tempat untuk merokok. Adanya ruangan khusus merokok tersebut untuk menjaga kenyamanan dan memberikan kepuasan pelayanan bagi tamu,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Vaporiser Bali (AVB) I Gede Agus Mahartika menambahkan, pihaknya berharap pelaku industri pariwisata bisa memisahkan antara ruangan untuk perokok dengan pengguna rokok elektronik. Alasannya, profil risiko antara rokok dan rokok elektronik sangat berbeda.
“Kalau di area hotel, ada smoking dan non-smoking. Semoga ke depan ada tambahan untuk pengguna rokok elektronik agar tidak ada diskriminasi lagi. Kita butuh nikotin, tapi bukan lainnya. Yang kita cari solusi terbaik, bagaimana nikotin dihantarkan ke tubuh tanpa merugikan orang lain,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (UNPAD) Amaliya menjelaskan produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan menerapkan konsep pengurangan risiko (harm reduction approach). Produk ini mengimplementasikan sistem pemanasan pada suhu terkontrol sehingga hasil dari pengunaannya berupa uap atau aerosol, bukan asap seperti pada rokok.
“Karena tidak ada particulate matter seperti pada asap rokok, jadi tidak ada TAR dan sisa pembakaran. Dalam 30-40 detik, aerosol langsung hilang, sementara particulate matter dari asap rokok bisa bertahan lima hingga tujuh jam,” ujarnya.
Berkat sistem pemanasan, produk tembakau alternatif mampu menurunkan risiko sebesar hingga 90% dibandingkan dengan rokok. Hal ini sudah dibuktikan melalui penelitian bersama antara UNPAD dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Hasil kajian ini bisa dijadikan acuan untuk menjadi kebijakan berbasis bukti, bukan opini dan pendapat semata. Kalau tidak adaptif dengan teknologi baru, prevalensi merokok tambah tinggi di Indonesia,” tutup Amaliya.
Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES