Menutup tahun 2024, salah satu organisasi nirlaba bernama Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) merilis daftar nominasi orang-orang yang dinilai berkontribusi besar dalam memperburuk kejahatan terorganisir dan korupsi. Presiden ketujuh Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo masuk ke dalam daftar nominasi tersebut.
Kendati akhirnya kalah korup dari pemenang penghargaan Person of the Year 2024, Bashar al-Assad (mantan Presiden Suriah), masuknya Joko Widodo sebagai salah satu nominasi adalah preseden buruk bagi situasi demokrasi, Negara Hukum, dan hak asasi manusia. Kendati demikian, YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat.
YLBHI melihat setidaknya ada 10 faktor Jokowi layak disebut sebagai koruptor.
1. Pelemahan KPK Secara Sistematis
Di tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menyentuh angka 34 setelah mengalami tren kenaikan gradual dari 17 di tahun 2000. Sekarang, indeks ini mengalami stagnasi bahkan tren penurunan jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lepas landas lainnya.
Di tanggal 13 Februari 2019, sebanyak sembilan fraksi di DPR menyetujui Revisi UU KPK, dengan begitu lembaga anti rasuah ini tidak lagi menjadi lembaga independen, karena kelembagaannya berada di bawah presiden. Berbarengan dengan revisi tersebut, Komisi III DPR pada 12 September 2019, memilih Firly Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 dengan mendapatkan 56 suara.
Karena revisi ini, para pegawai KPK kemudian perlu berubah status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dampaknya, pada 25 Mei 2021, sebanyak 51 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan dan diberhentikan.
2. Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020)
Selain dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna, LBH Padang (2020) mencatat ada empat poin krusial dalam revisi ini. Pertama, sentralisasi penguasaan Mineral dan Batubara, yang menyebabkan akses masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya dan kontrol masyarakat terhadap penguasaan pertambangan. Kedua, perpanjangan otomatis Kontrak Karya dan PKP2B mengabaikan proses evaluasi dan menghilangkan partisipasi masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan.
Ketiga, tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang untuk wilayah pertambangan, yang akan mengganggu daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sudah terlampaui, ditakutkan akan berdampak pada bencana alam akibat eksploitasi berlebihan. Keempat pasal kriminalisasi masyarakat yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan, yang berpotensi menjadi pasal karet untuk membungkam perjuangan masyarakat di sekitar tambang yang terampas ruang hidupnya.
Kami juga mencatat pasca regulasi tersebut direvisi terjadi kenaikan investasi yang menyasar sektor sumber daya alam. Produksi nikel meningkat secara gradual, surplus target batubara nyatanya berbanding terbalik dengan serapan pendapatan negara selama setidaknya tiga tahun terakhir (2022 – 2024).