Jika merunut sejarah, “pengasuh” BUMN ini berubah-berubah. Tidak pernah ajeg. Makanya, tidak fokus dan konsisten.
Pada awalnya, pengasuhan BUMN ada di Kemenkeu dan Kementerian Teknis. Tapi berubah menjadi Kementerian BUMN tersendiri. Harapannya, fokus dan tidak banyak intervensi.
Meski sudah sedemikian rupa, toh kinerja sebagian besar BUMN masih memble. Banyak yang rugi. Meski ada juga yang untung dan cemerlang. Tapi, jumlah ini sedikit sekali.
Yang memprihatinkan, BUMN beberapa kali “menyetor” direksinya ke penjara. Tegasnya, alih-alih memberi kontribusi malah membebani negara. Tak hanya itu, beberapa BUMN, kerqpkali merengek PMN alias Penyertaan Modal Negara. Bahasa terang-halusnya: “Please, tolong disuntik dana dong!”.
Situasi ini, tak boleh terus dibiarkan. Momen Danantara, jadikan tonggak kebangkitan BUMN. Yang gak penting dan strategis: tutup atau merger saja. BUMN yang baik, menggendong dan mentransformasi yang masih jelek.
Elite juga kudu bersepakat, tak akan terlalu “cawe-cawe” ke Danantara. Siapapun pengawas dan pelaksana, beri waktu dan ruang bekerja profesional saja. Toh, nanti tinggal kita evaluasi Kinerja Keuangannya. Masa terus menerus kalah sama Temasek dan Khazanah. Malu dong. Bukan, begitu? (*)