Minggu, Maret 9, 2025

Fikri Jufri: “Gua Al Jufri, Bukan Al Capone!”

Must read

Maka solusi yang cepat dan paling masuk akal adalah membangun sekolah darurat. Tim kawan saya sudah menyiapkan konsepnya. Yang kami perlukan hanya dana — dan aspek ini tak pernah “hanya”.

Ia menyimak serius, dan tiba-tiba, di restoran sebuah hotel, seseorang menyapanya dengan akrab. Fikri menyambutnya dan spontan menyampaikan masalah dana sekolah darurat itu. Orang itu meminta kami datang ke kantornya besok siang — dan Fikri tidak tahu siapa dia (ternyata setelah ia ingat-ingat adalah pengusaha tambang batu bara yang sangat kaya).

Kami lalu diberi cek Rp 30 juta, dan itulah modal awal sekolah darurat. Lalu manajemen sekolah tenda itu berkembang menjadi sekolah Yayasan Sukma Bangsa, yang dibiayai oleh para pemirsa MetroTV. Fikri tak pernah tahu: ia berkontribusi dalam menyemai benih awal sekolah itu.

Sebagai aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), ia ikut menggencarkan demonstrasi di masa yang bergolak pada pertengahan 1960an, bersama tokoh-tokoh KAPPI (kesatuan aksi) seperti Husni Thamrin. Di tengah semangat anti-PKI-RRC, ia dan kawan-kawan menduduki gedung konsulat RRC di Petamburan Jakarta, yang ditinggal pulang ke Peking oleh para pejabat penghuninya.

Gedung itu seperti rumah besar dengan banyak kamar. Ia pun mendapat jatah sebuah kamar, dan mereka memperlakukan gedung itu seperti rumah sendiri. Teman-temannya rutin melihatnya datang dan pergi ke gedung itu dengan jip Willys tua bersama seekor anjing kampung kurus piaraannya, yang selalu duduk melongo di jok mobil di sampingnya.

Salah satu tetangga kamar di gedung itu kemudian melanjutkan militansi hingga puluhan tahun kemudian, dan dikenal sebagai tokoh Islam garis keras, Abdul Qadir Djaelani.

Ia sendiri, setelah situasi tak memerlukan lagi kartu anggota KAPPI dan jaket kuning UI, memasuki kancah jurnalistik — tanpa sengaja. Ia sering datang ke kantor redaksi “Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)” karena semua pengelola koran empat halaman itu adalah kawan-kawannya.

Suatu sore ia mampir dan menceritakan peristiwa yang baru saja dilihatnya di perjalanan. Pemimpin Redaksi Nono Anwar Makarim memintanya menuliskan peristiwa itu. Ia pun menulis sebisa-bisanya. Sore itu ia seperti dibaptis menjadi wartawan — kelak menjadi profesi satu-satunya yang ia tekuni sepanjang hayat.

Manajemen “Harian KAMI”, yang tak pernah longgar dalam urusan dana, bisa memanfaatkan tenaga Fikri dengan murah dan, yang terpenting, ia punya Vespa yang membuatnya gesit bergerak untuk menjalankan kerja jurnalistik.

Dari awal yang tak sengaja itu ia kemudian menjalankan kewartawanan dengan sepenuh kesungguhan, lalu menjadi besar, dalam banyak aspeknya, bersama majalah Tempo yang turut didirikannya. Sebagai reporter ia punya daya tembus yang hebat, berkat keluwesan dan keluasan jaringan pertemanannya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article