Minggu, Maret 9, 2025

Fikri Jufri: “Gua Al Jufri, Bukan Al Capone!”

Must read

Ia, misalnya, menjadi wartawan yang mampu meyakinkan Ibnu Sutowo untuk wawancara eksklusif di tengah kontroversi besar dalam tubuh Pertamina yang dipimpin letnan jenderal itu, 1976. Cerita Dokter Sutowo, beserta tindihan utang Pertamina seberat USD 10,5 miliar, menjadi cover story yang meriuhkan perbincangan di seluruh negeri.

Ia juga menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil membuat Liem Soei Liong (Sudono Salim) mau bicara kepada pers — sebelum dan sesudahnya ia tak pernah lagi muncul di media. Liem, konglomerat terbesar saat itu dan dikenal sangat dekat dengan Presiden Soeharto, katanya, “cuma mau diwawancarai sama Kipli (Fikri).”

Tempo, yang menampilkan wajah close up Liem sebagai sampul, segera diburu oleh banyak orang yang penasaran tentang orang terkaya yang bertahun-tahun menjadi bahan gosip politik dan ekonomi itu.

Sebagai eks mahasiswa Fakultas Ekonomi UI, ia berada di tempat yang tepat di saat yang tepat. Beberapa dosen atau kakak kelasnya kemudian menjadi arsitek utama pemulihan ekonomi Indonesia, yang terengah-engah dijepit inflasi 650 persen.

Maka ia mendapat semacam privilese akses untuk menembus para menteri penting itu dengan relatif mudah, meski kadang ia juga harus menyiasati para pengawal atau supir menteri-menteri — ini suatu kecerdikan dan prestasi yang terpuji di dunia jurnalistik.

Sebagai anak tunggal, ia menyayangi ibunya tanpa ampun. Belum pernah saya melihat seorang anak — bahkan sampai ia berusia tua — begitu total ketaatannya pada ibunda.

Dalam suatu makan siang berdua di rumahnya, Ibu Dede yang menemani kami tanpa ikut makan, tak henti memperingatkan Fikri agar berhati-hati terhadap tulang ikan yang masuk ke mulutnya. Tak henti pula ia menganjurkan si anak untuk mencobai sayur ini dan itu, seakan anaknya berusia 7 tahun, bukan 70.

Fikri tak pernah mengingatkan ibunya bahwa ia sudah dewasa, sangat dewasa. Tanpa mengeluh ia terus menuruti perintah dan anjuran Mami.

Saat bertemu siapapun, atau di tengah obrolan hangat yang akan membuat suasana buyar jika terinterupsi, ia selalu siap memotongnya untuk menerima panggilan telepon ibunya, hanya untuk mendengar pertanyaan sang ibu — mungkin untuk ke-7 atau 8 kali hari itu — apakah obat tenggorokan dan antibiotiknya sudah dimakannya. Atau apakah tutup oli mesin mobilnya sudah dipasang kembali dengan benar.

Semua sahabatnya sudah tak perlu lagi meledeknya sebagai “anak mami”, karena ia tak pernah — selama berpuluh tahun — menggubris ledekan yang sia-sia itu. Ia bahkan seakan memamerkan bahwa ia memang anak mami — bahwa ia, dengan segala macam status dan prestise sosial yang melekat berkat kesuksesan dirinya, tetaplah anak yang taat total kepada ibunda yang dikasihinya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article