Dan ia bersedia mengimbangi perlakuan ibunya dengan setara; ia suka merajuk, untuk meneguhkan keibuan sang mami. “Mami kalau diajak jalan-jalan sama cucu-cucu selalu mau, kalau saya yang ngajak nggak mau,” katanya dengan gaya merajuk.
Bu Dede sedikit salah tingkah dan tersipu, lalu menjelaskan panjang-lebar bahwa ia tidak bermaksud seperti yang dikeluhkan — bahwa ia tak lebih sayang kepada para cucu dibanding kepada anak.
Saya lebih terharu ketimbang geli menyaksikan adegan itu — seorang anak berumur 70 tahun yang bermanja kepada ibunya. Saya yakin ia hanya berakting, pura-pura cemburu kepada anak-anaknya sendiri, atas perlakuan “pilih kasih” Mami antara kepada cucu dan kepada dirinya sebagai anak.

Sekian tahun silam, dalam sebuah perayaan di sebuah hotel, dari kejauhan ia melambai-lambaikan tangannya. Saya segera mendatanginya, dan ia memeluk dengan wajah berbinar-binar, bertanya macam-macam sekaligus, termasuk kabar tentang anak saya, yang selalu digendongnya setiap bertemu.
Sambil menjawabnya dengan menahan tangis, pada kesempatan yang tepat saya menyelipkan nama saya sejelas-jelasnya. Saya tahu: dengan segenap kegembiraannya karena pertemuan itu, ia tak ingat nama saya. Dementia begitu perlahan menggerogotinya dengan halus.
Maka saya memohon maaf kepada Amira, Kemal dan Rima karena saya tidak pernah mampir menjenguk ayah mereka, yang sejak beberapa tahun lalu pindah rumah ke Jakarta Selatan, tak terlalu jauh dari rumah saya.
Beberapa kawan yang mengajak saya untuk mampir ke rumahnya, selalu saya tolak dengan berbagai alasan. Saya tak sanggup untuk mengkonfirmasi langsung berbagai kabar tentang kesehatan fisik-mentalnya yang saya dengar terus memburuk, dan pernah saya lihat sendiri gejala awalnya.
“Tanggal 25 Maret nanti Ayah akan merayakan ulang tahunnya di sana bersama sahabatnya, Oom Sabam,” kata Amira kepada saya di rumah duka, antara tersenyum dan menangis. Ayah Amira akan berusia 89 pada hari itu.
Saya hanya terdiam sambil berjuang mengendalikan mata saya yang menghangat. (*)