Kolom Mohamad Cholid
Apakah hari ini ada yang bisa mengatakan menjalani hidup normal seperti biasanya selama ini? Katakanlah kalangan pemilik uang tunai tak terbatas, barangkali karena bergerak di bidang kebutuhan pokok atau bisnis lain yang tidak terkena imbas langsung akibat krisis wabah.
Atau punya simpanan tantiem untuk hidup mewah beberapa tahun. Tapi mobilitas pribadi dan pola hidup perlu menyesuaikan dengan realitas. Kemerdekaan berkurang.
Magnitude krisis akibat pandemi Covid-19 terasa menohok karena masing-masing dari kita juga dibanjiri informasi dari pelbagai penjuru dunia. Termasuk tentang jutaan orang yang kehilangan pekerjaan, utamanya dari sektor industri yang terpukul paling keras, seperti transportasi, hospitality, lifestyle dan penopangnya (mall). Bahkan di kota segagah New York, sejumlah restoran tutup buku karena tidak ada tamu yang datang.
Umat manusia di bumi sudah beberapa kali dilanda krisis. Di Abad 20 saja antara lain ada Great Depression, Perang Dunia, dan krisis keuangan (Global Financial Crisis). Sebagian kalangan menyebutkan, krisis akibat Covid-19 lebih gawat dibandingkan dampak Perang Dunia II.
Apa pun yang dipersepsikan oleh para pelaku bisnis (yang betah di zona nyaman), para pakar, atau yang dihembuskan dan diglorifikasi media, itu semua merupakan event–bukan keabadian. Kenyataannya, setiap saat umat manusia selalu mampu mengatasi krisis dan bangkit lagi, bahkan menjadi lebih kuat.
Kita simak saja, seiring dengan krisis biasanya bermunculan pula gagasan baru di bidang teknologi, keuangan, model bisnis, manajemen, dan edukasi – termasuk di dalamnya pengembangan eksekutif dan kepemimpinan. Regulasi pemerintah, utamanya di negara yang mementingkan kemajuan bangsanya, juga menyesuaikan.
Sekarang ini, seperti sudah Anda duga, di sejumlah negara transaksi elektronik telah meningkat. McKinsey & Company mencatat, di Eropa sejak awal April 13% konsumen pilih browsing e-tailers dulu untuk belanja. Di Italia, transaksi e-commerce sejak akhir Februari tumbuh 81%.
Teladoc Health, penyedia jasa telemedicine stand-alone terbesar di AS, melaporkan pertumbuhan 50%, utamanya di digital commerce, telemedicine, dan automation. Di Swedia, KRY International, penyedia jasa tele-kesehatan terbesar di Eropa, melaporkan kenaikan registrasi 200% lebih.
Ribuan dokter ditambahkan dalam jaringan mereka. Pemerintah Prancis dan Korea melonggarkan regulasi memudahkan akses telemedicine.
Di luar itu, kita juga mendengar para dokter peneliti dan ilmuwan lain di sejumlah negara belakangan ini bekerja sama dengan tim lokal dan antar bangsa berupaya menemukan vaksin, sebagiannya mengembangkan bentuk dan cara pengobatan baru, serta peralatan untuk mengatasi wabah Covid-19.
Fakta-fakta positif di balik krisis akibat wabah sekarang ini mengingatkan kata-kata ekonom Stanford University Paul Romer. Dalam sebuah pertemuan para venture-capitalist di California November 2004, merujuk kompetisi yang dihadapi Amerika setelah level pendidikan di negara-negara lain meningkat, Romer mengatakan, “A crisis is a terrible thing to waste.”
Untuk meninggikan derajat manusia, meningkatkan kualitas para profesional di segala bidang, kadang diperlukan krisis, realitas pahit, atau tantangan-tantangan besar yang umumnya tidak terduga. Itu proses penempaan diri berkesinambungan. Bukankah setiap krisis melahirkan sejumlah peluang baru?
Di level pribadi, organisasi bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintahan, dari setiap krisis lesson learned fundamental yang sepatutnya kita peroleh, menurut saya, minimal adalah mau berupaya meningkatkan disiplin cara berpikir baru, kemampuan mengembangkan strategi yang tahan segala cuaca, dan membangun kompetensi kepemimpinan efektif.
Hasil riset McKinsey terkait krisis keuangan 2008 menyebutkan, sejumlah kelompok kecil perusahaan di setiap sektor berhasil unggul dibanding rekan mereka di industri sejenis. Mereka tentu ikut terpukul juga, revenue tergerus setara dengan rekan-rekan mereka, tapi kelompok tersebut mampu bangkit lebih cepat.
Pada 2009, earning perusahaan-perusahaan yang lebih tahan uji tersebut meningkat 10%, sementara organisasi di industri sejenis yang kurang kuat, masih mengalami tekor 15%.
Karakteristik kelompok perusahaan dengan daya tahan lebih kuat tersebut adalah, mereka selalu siap menghadapi krisis, antara lain menjaga balance sheet yang kuat, kepemimpinan efektif, dan kemampuan mengurangi operating cost.
Demikian kata Kevin Sneader dan Shubham Singhal dari McKinsey & Company (The future is not what it used to be: Thoughts on the shape of the next normal, April 2020).
Dalam penanganan wabah sekarang, sesuai anjuran para ahli kesehatan masyarakat, pemerintah membagi tingkat kegawatan menjadi zona hijau, kuning, dan merah.
Untuk menentukan kualitas kepemimpinan, mengambil sikap dan mengubah perilaku lebih efektif menghadapi situasi yang sangat challenging sekarang, kita dapat memilih penggolongan di luar itu.
Barangkali sebagian dari Anda juga sudah mendapatkannya dari relasi tentang pembagian zona seperti ini: fear zone (mengeluh, cemas, hanyut dalam arus media sosial korban virus, dan sharing kemana-mana kegalauan itu); learning zone (menyadari situasi dan tahu harus bertindak apa, berhenti baca/nonton berita-berita yang merugikan diri); growth zone (menghayati hidup saat ini dan fokus membangun masa depan, siap membantu pihak lain dengan kemampuan diri, bersyukur dan menghargai orang lain).
Di zona mana Anda sekarang? Kapan membebaskan diri jadi korban distraksi berita dan belitan grup WhatsApp yang menjebloskan Anda di zona cemas berlebihan?
Satu zona lagi yang sepatutnya kita pilih adalah leadership zone. Para eksekutif seperti Anda dan yang sedang memimpin organisasi bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintahan, bertanyalah kepada diri sendiri: disiplin berpikir dan perilaku seperti apa yang sebaiknya dikerjakan setiap hari agar bisa menjadi bagian dari solusi menghadapi krisis saat ini?
Apakah jabatan, kecerdasan, ketrampilan dan pengaruh kita gaungnya sudah menembus tembok batas organisasi, memasuki sanubari manusia-manusia lain yang membutuhkan pertolongan? Apakah kita bisa mengajak tim membangun cognitive empathy dan engaged dengan masyarakat?
Karena untuk mengatasi keadaan saat ini dan menyiapkan fondasi hidup lebih solid pasca wabah, mustahil hanya mengandalkan pemerintah. Kita sebaiknya punya peran ikut membangun sejarah. Itu sikap orang bermental pemenang.
Contoh rintisan kearah itu bukannya belum ada. Sebelum pandemi, Agustus 2019, ada 180-an CEO di AS menandatangani komitmen menambah prioritas lebih dari sebatas demi kepentingan pemegang saham — yaitu, investasi untuk karyawan, supporting communities, dan dealing secara etis dengan para pemasok.
Anda sudah siap ikut mewarnai lanskap kehidupan baru pasca wabah?
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman