Sabtu, November 16, 2024

Codot, Corona dan Normal Baru

Must read

Catatan Farid Gaban

Setahun sudah pandemi menghantui kita. Virus kecil ini telah memporak-porandakan banyak hal. Di samping kematian dan kehilangan, umat manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa aktivitas sosial menjadi terbatas. Ekonomi berantakan. Pengangguran meluas, dan kesulitan hidup dikeluhkan orang di mana-mana.

Mudah dipahami jika banyak orang berharap pandemi ini segera berlalu. Dan harapan besar terutama dipicu oleh adanya vaksin. Pemerintahan di berbagai negara termasuk Indonesia, kini bertumpu pada program vaknisasi untuk mencapai kekebalan kolektif (herd immunity) yang sekaligus menghentikan pandemi.

Setelah gagal mengendalikan penyebaran virus yang meluas, Pemerintahan Jokowi kini juga berharap besar pada program vaksinasi agar Indonesia bisa menjalani hidup normal kembali. Proyek-proyek infrastruktur besar bisa jalan lagi. Rencana ibukota baru bisa diwujudkan. Dan para investor, baik dari dalam maupun dalam negeri, antusias lagi memutar modal; apalagi setelah karpet merah investasi ala Omnibus Law digelar luas.

Tapi, apakah situasi akan benar-benar kembali normal?

Meski vaksinasi sangat menjanjikan, banyak hal bisa terjadi dalam satu-dua tahun mendatang sampai program vaksinasi itu sendiri tuntas; dan banyak prasyarat harus dipenuhi untuk membuatnya efektif menghentikan pandemi. Belajar dari setahun pandemi kemarin kita layak untuk ragu bisa memenuhinya.

Di samping itu, ada juga perkembangan yang berada di luar kendali kita. Misalnya, munculnya varian-varian baru virus corona yang potensial membuat vaksin sekarang segera menjadi usang. Atau ancaman wabah baru dari virus yang sama sekali lain, yang kehadirannya dipicu oleh faktor serupa dengan corona.

Mempelajari faktor-faktor yang memicu corona sangat penting untuk mencegah wabah serupa. Dan itu akan memandu kita merenungkan pertanyaan lebih mendasar.

Pertanyaannya bukan apakah kita BISA kembali ke masa normal seperti dulu, tapi apakah kita HARUS kembali ke cara hidup “normal” seperti kemarin-kemarin. Cara-cara lama kita dalam berinteraksi dengan alam dan manusia, cara kita kita membangun negara, potensial memicu wabah-wabah baru.

Kajian-kajian awal telah menunjukkan bahwa virus corona adalah jenis virus zoonotic, yakni virus yang berasal dari binatang, yang kemudian meloncat ke binatang lain dan ke manusia, dan pada akhirnya menyebar dari manusia ke manusia lain. Virus itu berasal dari kelelawar buah. Orang Jawa menyebutnya codot.

Kelelawar jenis ini ibarat “pabrik virus”. Air liurnya potensial menularkan penyakit-penyakit brutal bagi manusia. Tak hanya Covid-19, tapi juga Ebola, virus Marburg, virus Hendra, SARS, dan virus Nipah. Wabah virus-virus ini menjadi ancaman nyata khususnya di Asia Tenggara dan Selatan, tempat hampir dua milyar orang hidup.

Wabah virus Nipah pertama kali muncul di Malaysia pada 1999, di kawasan Sungai Nipah, Negeri Sembilan, dan dari situlah namanya diabadikan. Belakangan, sampai 2018, virus mematikan ini menyebar hingga Bangladesh dan India.

Virus Nipah sama mematikannya dengan Ebola, bahkan lebih sadis: jika Ebola merusak pembuluh darah, Nipah merusak otak. Tingkat kematiannya sangat tinggi: berkisar antara 40% hingga 70%. Inilah virus yang mengilhami Contagion, film terkenal tentang wabah. Badan Kesehatan Dunia WHO memasukkannya dalam daftar 10 ancaman terbesar bagi umat manusia. Virus ini belum ada obat maupun vaksinnya.

Bagaimana virus ini menular dari kelelawar ke manusia?

Kelelawar buah hidup di hutan tropis belantara. Mereka punya jasa besar dalam menghijaukan hutan dan memperkaya keragaman hayati. Mereka memakan buah dan menyebarkan bijinya ke banyak tempat. Mereka menghisap madu yang membantu penyerbukan tanaman.

Namun, ketika hutan digunduli, mereka hijrah ke kota dan pusat-pusat permukiman. Virus yang mereka bawa mudah menulari hewan-hewan ternak (babi, kuda, unta) yang pada akhirnya sampai ke manusia, dan menular dari satu ke lain orang.

Sejumlah kajian mutakhir menunjukkan ada kaitan erat antara munculnya wabah virus-virus zoonotic tadi dengan perubahan bentang alam: penggundulan hutan, urbanisasi masif dan intensifikasi pertanian serta peternakan.

Pertanian monokultur seperti sawit dan peternakan skala besar, tempat hewan dipadatkan dalam ruang sempit, mempercepat penularan. Virus Nipah menyebar cepat dalam peternakan babi skala besar di Malaysia.

Wabah bukanlah bencana alam, melainkan bencana yang diciptakan manusia sendiri (man-made disaster). Kita tak akan bisa mencegah atau meminimalkan wabah tanpa mengevaluasi apa yang kita lakukan.

Itu semestinya memaksa kita untuk merenungkan secara radikal tentang arah perjalanan kemanusiaan, tentang cara kita hidup, dan tentang cara kita membangun negara.

Setahun diharu-biru pandemi, sebagian besar kita segera rindu kembali ke “masa normal”, mencoba menyalin masa lalu ke masa depan kita, seraya menolak fakta tentang ambyarnya tatanan hidup. Kita terobsesi pada mega-proyek infrastruktur, pada investasi, pada pertumbuhan ekonomi semata, sambil menghancurkan hutan, ruang hidup kelelawar sederhana itu. Kita sedang menciptakan monster untuk diri kita sendiri.

Pada awal pandemi Covid, Arundhati Roy, seorang novelis India, menulis renungan tajam: “The Pandemic is a Portal”. Pandemi corona, kata dia, adalah sebuah gerbang yang memberi kita peluang untuk mengoreksi kesalahan masa lalu dan merumuskan cara hidup baru di masa depan.

Keinginan “kembali ke normal”, kata Roy, bisa menyesatkan. Tapi, itu terserah pada kita.

Akankah kita melalui gerbang sambil menyeret beban berat ketamakan masa lalu dengan segala konsekuensinya (cara hidup materialistik konsumtif yang diimbuhi dengan konflik sosial-politik). Atau memilih berjalan lebih santai, dengan koper kecil, sambil membangun imajinasi tentang tata dunia baru yang lebih baik. Dan siap untuk memperjuangkannya.

Rujukan:

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article