#SeninCoaching:
#Lead for Good: Live, more than exist.
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“There is simply no excuse for making excuses at work – or anyplace else for that matter,” Marshall Goldsmith.
Setiap orang dari kita masing-masing punya ritual sendiri setiap pagi, dengan jam bangun yang berbeda-beda pula. Di dunia ini, di Jakarta, New York, Tokyo dan kota besar lainnya, ternyata sejumlah orang sudah aktif sejak jam 04 a.m, bahkan juga di kalangan non-Muslim. Di antaranya novelis best seller Haruki Murakami, yang karyanya sudah diterjemahkan ke 50 bahasa, bertahun-tahun telah membiasakan diri mulai menulis sepagi itu. Aktor Hollywood Mark Wahlberg juga dikabarkan rutin latihan fisik sejak menjelang fajar. Di lain pihak, ada golongan orang yang merasa kepagian jika harus bangun dan mulai beraktivitas jam 06.00 pagi.
Pilihan setelah bangun juga macam-macam. Sebagian mengutamakan shalat, meditasi, atau do’a pagi, lalu fokus kerja. Lainnya membiasakan minum air putih dan makan buah dulu. Sekelompok lain ada yang langsung menyeruput kopi tubruk, mengisap rokok, dan baca koran, bahkan WhatsApp group, media sosial. Jogging juga jadi pilihan kegiatan sebagian kita, segera setelah bangun. Variasinya banyak sekali untuk disebutkan.
Semuanya sah saja menurut prioritas atau impact yang diinginkan. Pemicu setiap orang untuk melek, menyalakan hidup, tidak harus sama, sesuai dengan tujuan hidup masing-masing.
Persoalan akan timbul ketika seseorang mengaku sudah melek benar, menyadari diri masih hidup, tapi ternyata saat bercermin yang dihadapinya adalah sebuah bingkai berisi sosok samar-samar. Casing dengan isi bayangan mahluk tanpa identitas – mungkin ini ungkapan pas untuk menggambarkan manusia yang mengizinkan dirinya dilumat problem eksistensial.
Kondisi tersebut bukan kejahatan, tidak pula merupakan potret watak seseorang; tapi itu produk dari pembiaran diri terus-menerus memberikan respon yang tidak tepat, kurang waspada, dan interpretasi tanpa pengolahan mendalam, terhadap rentetan triggers di sekitar kita.
Pemicu yang mempengaruhi perilaku tersebut bermacam-macam, bisa (tabiat) seseorang, perangai kelompok massa, omongan pejabat publik, berita lancung (hoax), situasi di tempat kerja, dan kondisi emosi sendiri (ingatan masa lalu). Triggers ada yang langsung menyodok dan tidak langsung; kita sadari dan di luar pantauan radar kita; bisa produktif, bisa pula merugikan (tidak produktif).
Karena triggers lazimnya tidak dapat kita kendalikan, kewajiban kita adalah menentukan respon yang tepat. Pemicu yang sama bisa menghasilkan respon berbeda dari masing-masing orang. Godaan besar — uang, petualangan seks, pangkat, gosip, diskusi tanpa juntrungan (apalagi manfaat) di grup WhatsApp dan lainnya yang distraktif, tampaknya menyenangkan — misalnya, bisa encouraging bagi sebagian orang, walapun kita anggap kontra produktif. Atau bahkan dapat menyesatkan.
Bukankah banyak manusia yang terpeleset di situ, merendahkan harga diri mereka? Sehingga saat bercermin mereka hanya melihat bingkai berisi sosok samar-samar tanpa identitas – hidupkah itu? Siapa di antara kita yang sanggup menjalani hidup semacam itu?
Sebagian dari mereka lantas menyandarkan identitasnya pada jabatan, pada fungsinya dalam birokrasi, dan pada institusi (bisnis, partai politik, pemerintahan). Setelah di luar lembaga, ada yang merasa harus terus eksis lewat publisitas gencar di media sosial. Tanpa itu semua, golongan manusia ini tampaknya akan limbung. Akibat selama ini telah mengizinkan diri jadi subordinasi ilusi.
Problem eksistensial lainnya yang kurang disadari, padahal gawat dan dampaknya dapat merusak tim dan organisasi, adalah excuses. Sering satu paket dengan tabiat suka menyalahkan pihak lain (orang, kondisi lalu-lintas dll) dan kebiasaan ngeles (denial).
Meleset janjian ketemu relasi, yang disalahkan sekretarisnya, telah menaruh tanggal yang salah. Terlambat meeting, kemacetan lalu-lintas dituding sebagai penyebabnya. Belum juga melakukan eksekusi perubahan untuk peningkatan kinerja, tim disalahkan masih sibuk hanyut mengejar target.
Kalangan eksekutif yang boleh dibilang selalu lamban memberikan respon tepat pada realitas tersebut, termasuk dalam kehidupan pribadi mereka, bisa jadi karena sejawat, keluarga, dan kawan-kawan mereka – karena takut menyatakan kebenaran — membiarkan semua itu terjadi.
Menurut penelitian Profesor Marshall Goldsmith, pionir asesmen 360-degree feedback, ada kebiasaan di antara mereka menghakimi diri sendiri dengan pernyataan seperti “I’m impatient”, atau “I always put things off until the last minute” dan “I’m sorry, but that’s just the way I am.” Seolah-olah itu semua merupakan kesalahan genetik permanen, tidak dapat diubah sama sekali.
Marshall Goldsmith pekan lalu sharing, “It’s amazing how often I hear otherwise brilliant, successful people make willfully self-deprecating comments about themselves. It’s a subtle art because, in effect, they’re stereotyping themselves and using that to excuse otherwise inexcusable behavior.”
Para eksekutif, leaders, disarankan stop mengumbar excuses dalam kegiatan sehari-hari. “If we can stop excusing ourselves, we can get better at almost anything we choose,” kata Marshall.
Lagipula, menurut pendapat saya, dalam kenyataan, excuses atau alibi tidak akan mengubah fakta apa pun. Bahkan excuses yang berkepanjangan untuk banyak hal, kebiasaan menyalahkan orang lain atau keadaan, serta tabiat ngeles, menyangkal realitas, dapat menyebabkan seseorang seperti tidak pernah eksis. Apalagi benar-benar merasakan hidup, yang lebih dari sebatas eksis.
Bukankah kita juga sudah melihat, akibat perilaku seperti itu sejumlah tokoh publik kehilangan jati diri mereka? Menjadi sosok samar-samar, bahkan ilusi, dalam bingkai eksistensial.
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.