#SeninCoaching:
#Lead for Good: Be human, please
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Saat Anda punya rumah dengan sekian belas kamar di lahan satu hektar, apalagi lebih, Anda tentunya perlu butler, kepala regu staf rumah tangga. Dalam tradisi aristokrat Inggris dan kelihatannya juga kebiasaan sebagian generasi orang tua atau nenek kita, butler merupakan kebutuhan.
Bedanya, butler di Inggris, juga di kalangan super rich Amerika, selain mengatur barisan staf kuliner, tim kebersihan, penata kamar-kamar, wajib terampil memimpin penataan acara makan malam, memilih dan menuangkan wine sesuai adabnya. Di AS butler juga disebut household manager, gajinya bisa sampai US$ 200-an ribu/tahun.
Di kita butler umumnya mengatur tukang kebun, sopir, satpam, para juru masak, dan bayar listrik/PBB. Jarang dilibatkan saat dinner party. Kalau pun ada petugas pemegang botol anggur, biasanya itu bagian dari paket tim catering pemasok makanan, bukan karyawan tetap di rumah. Apalagi sebagian kalangan yang sering bikin dinner party di rumah sudah pada meninggalkan wine. Di bisnis hospitality lazimnya ada juga butler, mengurus pelbagai keperluan tamu VIP dan VVIP.
Profesi sebagai butler tetap kita hormati juga, asal pola pikir dan perilakunya tidak meniru Mr. Stevens the butler.
Stevens mengabdi sebagai butler di rumah besar Lord Darlington, seorang aristokrat Inggris, dekat Oxford. Disebut mengabdi karena selama tiga puluh tahun lebih menjalani profesinya, Mr. Stevens (panggilan resminya sebagai butler) telah menguburkan segala bentuk perasaannya sebagai manusia — termasuk ketika naksir rekan kerjanya, Miss Kenton, dan rasa hormat kepada orang tua. Menurut Stevens, sikap menekan diri itu demi menjaga “dignity” dan profesionalisme seorang butler.
Ketika ayahnya sekarat di kamar, Stevens memilih sibuk melayani M. Dupont, salah satu tamu Lord Darlington, yang mengeluh kakinya sedikit bengkak. Begitu para tamu Lord Darlington yang mengadakan rapat rahasia – demi kepentingan Nazi — dan menginap itu semua sudah pada pergi, Stevens memuji dirinya telah melaksanakan tugas profesionalnya demikian bagus dalam situasi apa pun. Sementara itu ayahnya, mantan butler di Loughborough House milik Mr. John Silver yang sudah meninggal dan jadi under butler di Darlington Hall, tinggal di salah satu pojok rumah sangat besar itu, meninggal dalam kesendirian.
Stevens merayakan (yang dianggapnya) sukses dengan cara menomorduakan ayahnya. Demi mengabdi pada Lord Darlington yang kemudian meninggal mengenaskan, dianggap pengkhianat bangsanya.
Majikan baru, Farraday, orang Amerika yang membeli estate house Darlington, meminjamkan mobilnya untuk dipakai Stevens berlibur. Kesempatan ini dipakai Stevens, yang pada 1950-an itu usianya 50 tahun lebih dan bujangan, untuk menemui Miss Kenton. Sekian tahun silam, menjelang Perang Dunia II, Miss Kenton mengundurkan diri sebagai housekeeper di Darlington dan menikah.
Stevens mau merekrut kembali Kenton, yang sudah pisah dengan suaminya, sekaligus mencoba menghidupkan api cinta yang dulu ia pendam. Kedua upaya itu menghasilkan kehampaan. Usai pertemuan dan minum bersama, Kenton meninggalkan Stevens di bawah hujan, sendirian.
Stevens kemudian menyadari, selama hampir empat puluh tahun ia telah menutup diri dari kenyataan, menguburkan jiwanya sebagai manusia, demi menjadi “butler professional.” Di balik pakaian dinas jas resmi, keren, yang selalu dikenakan Stevens, ternyata hanya ada seonggok tubuh yang ruhaninya berkarat. Kelamaan terpendam dalam semangat mengabdi yang, ternyata, bukan pada tempatnya atau salah arah.
Stevens adalah tokoh The Remains of the Day, novel ketiga (1989) Kazuo Ishiguro, peraih Nobel Kesustraan 2017. Pada film berjudul sama, Remains of the Day (1993), Stevens diperankan Anthony Hopkins. Itu gambaran umum English butler, yang menekan keras ekspresi pribadi demi tugas.
Dalam salah satu wawancara, Kazuo Ishiguro, kelahiran Nagasaki 1954 dan menjadi warga negara Inggris 1983, antara lain mengatakan, kita ini umumnya seperti butler. Melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa, mengerahkan segala kemampuan demi memuaskan atasan. Takut mengeskpresikan diri, apalagi menggali segala kemungkinan hidup, termasuk cinta.
“In political moral way, kebanyakan dari kita adalah para butlers,” kata Ishiguro. “Bahkan di negara-negara demokratis, oddly kita jauh sekali dari kekuasaan sebenarnya.”
Anda sendiri bagaimana kalau ada anggota tim, atau team leader di bawah Anda, mengabdi demikian mendalam seperti Mr. Stevens? Apakah jadi senang karena Anda akan leluasa mau memerintah apa saja? Atau merasa khawatir, karena menghadapi mahluk wujudnya manusia tapi pola pikir dan perilakunya seperti mesin, membantah segala yang dirasakannya dan tidak punya rasa hormat kepada orang tua – seperti meniadakan diri sendiri — demi memuaskan bos?
Dalam kenyataan sehari-hari, budaya kerja di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintah sangat berpengaruh pada terbentuknya barisan para butlers, yaitu orang-orang yang hanya bisa patuh, tidak memiliki inisatif, tanpa identitas jelas – bahkan mungkin tidak memiliki life purpose. Dalam lingkungan organisasi yang feodalistis dan memuja kemapanan, para team leader yang berperilaku seperti butlers biasanya mahir menyenangkan bos; bukan membela kepentingan organisasi.
Siapa dapat menjamin mereka akan berfungsi optimal dan dapat bertindak inovatif untuk menghadapi tantangan saat ini, yang demikian dinamis, kalau tidak pernah leluasa berekspresi sebagaimana manusia merdeka, sehat pikiran dan jiwanya?
Apakah mungkin orang dengan pola pikir dan perangai seperti Mr. Stevens the butler bisa ligat, memiliki adaptability tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan yang konstan? Kemampatan kreativitas dan inovasi para eksekutif dan team leader di organisasi indikasinya akibat mereka selama ini diperlakukan seperti para butler.
Realitas yang dihadapi kebanyakan organisasi hari ini antara lain emotional connectedness di antara team leader dan sesama tim melonggar. Kolaborasi sulit diwujudkan. Menurut anggapan bos, engagement sudah bagus, tapi hasil kerja jauh dari harapan. Pandemi, social distancing, dan kerja jarak jauh mereka tuduh sebagai penyebabnya. Apakah benar begitu?
Di sejumlah organisasi yang terbiasa nguwongke, menghormati harkat manusia, hanya perlu adjustment beberapa hal untuk dapat terus bekerja optimal di tengah situasi tidak stabil belakangan ini. Mereka berhasil menghapus mentalitas Mr. Stevens the butler, utamanya di kalangan para eksekutif dan team leader, agar bisa bekerja sebagai manusia dengan ekpresi dan kompleksitas masing-masing. Paling efektif kalau ada teladan, bos yang melakukan perubahan dulu.
“… especially during period of covid, it’s really been nice to just be human,” kata Dr. Marshall Goldsmith, #1 executive coach di dunia, dalam interaksi pekan silam.
Di sini pentingnya membangun Authentic Leadership Model (ALM) dan kita implementasikan dalam kepemimpinan sehari-hari. Anda mestinya memilih tumbuh sebagai munusia dengan segala dimensi, kompleksitas, dan potensi pemberian Tuhan. Bukankah (ruh) kita punya appointment untuk ketemu dengan Keabadian? Apa yang akan dikatakan Tuhan kelak jika membiarkan ruhani membeku dalam ilusi sendiri, lalu menghamba secara tidak patut seperti Mr. Stevens itu?
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.
(https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books