#SeninCoaching:
#Lead for Good: We have choices
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Yudistira gemar main dadu, dengan ketrampilan pas-pasan. Kendati begitu ia ternyata berani bertaruh.
Undangan Destarastra, Raja Hastinapura, untuk main dadu dalam peresmian pendapa baru yang dinamai Istana Kristal, ditanggapi Yudistira awalnya dengan bimbang. Ia ingat kata-kata Begawan Vyasa tentang masa-masa sulit yang tampaknya bakal dihadapi Pendawa dan ia sendiri mengetahui, “Berjudi itu amoral, bisa menyebabkan konflik dan kepedihan,” katanya.
Tapi ia juga menghormati Destarastra, pamannya. “Kalau Destarastra memberi perintah, bagaimana aku bisa menolak? Menyalahi kode etik kesatria kalau aku menolak diundang ke suatu permainan,” kata Yudistira. Sebagai Raja Indraprasta, ia memutuskan ke Hastinapura, menginap dan main dadu.
Pendapa Istana Kristal di Kerajaan Hastinapura seluas Danau Manasarowar, atapnya disangga oleh seribu pilar berhiaskan emas dan sembilan macam batu berharga. Di tengahnya ada kolam teratai. Raja Destarastra yang buta dan sangat memanjakan anak-anaknya, membangun pendapa kebanggaan Hastinapura ini untuk menyenangkan Duryudana, satu dari seratus anaknya.
Duryudana rupanya iri melihat pendapa yang hebat dan berlantai mengkilat bak permukaan air di istana para sepupunya, Keluarga Pandawa, di Indraprasta. Maka ia minta dibangunkan pendapa lebih megah.
Hasad dan iri hati Duryudana menjadi rencana keji mengenyahkan Pandawa, dengan menjebak Yudistira lewat permainan dadu. Konon Duryudana saat lahir tidak menangis sebagaimana layaknya bayi, tapi melolong seperti serigala — banyak yang menyarankan bayi itu dibunuh. Tapi Destarastra membiarkannya tumbuh, bahkan kemudian menuruti apa saja keinginan Duryudana.
Dalam permainan dadu di pendapa itu Duryudana minta Sangkuni mewakilinya. Disamping sangat lihai dan banyak siasat, Sangkuni juga tahu kelemahan Yudistira dalam urusan dadu.
Dimulai dengan segenggam mutiara, taruhan makin besar. Dalam Mahabarata yang dituturkan R.K Narayan (terjemahan Nin Bakdi Soemanto) dikisahkan: “Yudistira tergelincir ke dalam kegairahan seorang penjudi….Ia lupa siapa dirinya, di mana ia berada, siapa lagi yang ada di sana, dan apa yang betul atau salah. Yang ia ketahui hanyalah bunyi dadu dilemparkan setiap beberapa menit, diikuti oleh seruan gembira Sangkuni ‘Aku menang.’ … Setiap kali terdengar suara Sangkuni menyatakan kemenangannya, Yudistira terdorong memperbesar taruhannya.”
Egonya terpancing terus.
Sebagian dari Anda mungkin sudah pernah membacanya, dalam cerita tersebut Yudistira kemudian mempertaruhkan kerajaannya dan kalah. Lantas bersama adik-adiknya, Bhima, Arjuna, Nakula, Sahadewa, ditambah Drupadi, istri bersama mereka, diusir dari istana untuk selama 12 tahun hidup mengembara di hutan-hutan. Pada tahun ke-13 mereka dibolehkan masuk kota mana saja tapi dilarang ketahuan identitas mereka.
Usai masa pembuangan tersebut, terjadi perang. Pihak Pandawa memenangi perang di Padang Kurusetra selama 18 hari dan mengambil alih Kerajaan Hastinapura.
Mahabarata menggambarkan perilaku, watak, dan proses pengambilan keputusan, dan hubungan dengan Pencipta Alam Semesta, dari para tokoh yang mengaku diri mereka kesatria. Kendati kemudian Yudistira dan adik-adiknya berhasil memulihkan kekuasaan Pandawa, tapi perlu proses 13 tahun, memakan korban puluhan ribu nyawa, kerusakan tatanan sosial, alam, dst.nya.
Yudistira, raja yang digambarkan berbudi luhur, welas asih kepada sesama mahluk, pada saat egonya terusik, bisa lupa diri juga. Dalam kenyataan sehari-hari kita sekarang, sesungguhnya juga ada cerita-cerita para bos yang “menikmati jebakan khilaf”, bahkan kehilangan diri, mirip Yudistira saat berjudi di pendapa Istana Kristal.
Merasa sudah tahu jawaban setiap persoalan, mereka mempertaruhkan banyak hal mengejar proyek gengsi demi memuaskan ego. Bisnis dilaksanakan dengan bernafsu, menepis setiap pertimbangan matang dan perspektif baru yang dianggap mengganggu perasaan.
Di kalangan pejabat publik pun ada indikasi perilaku begitu. Tidak peduli pada harkat manusia, konsekuensi finansial (keuangan negara) dan dampak buruk lainnya, termasuk anjloknya tingkat kepercayaan publik, proyek-proyek mercusuar mereka buat demi memuaskan para “Duryudana” (segelintir pejabat dan kroni mereka).
Para pengambil keputusan di pusat kekuasaan ibarat berubah tidak sekadar meniru Yudistira yang kehilangan jati diri saat di meja judi, tapi juga jadi mirip Destarastra – bukan mata mereka yang tidak bisa melihat, tapi hati mereka indikasinya buta.
Anda barangkali lebih tahu atau sempat jadi bagian kasus para petinggi organisasi semacam itu?
Takeaway dari Mahabarata bagi generasi kolonial sampai millennial:
Pertama, menyadari peran diri, mampu mengantisipasi probabilitas suatu proyek, serta pemahaman tentang akhlak – misalnya, “Berjudi itu amoral, bisa menyebabkan konflik dan kepedihan,” seperti dikatakan Yudistira – tidak menjamin seseorang yang tengah berposisi memimpin akan bertindak sesuai pengetahuan dan pemahamannya. Apalagi jika ego sudah menggelembung.
Bukankah sejumlah sosok yang dianggap pimpinan telah terperosok oleh ulah mereka sendiri? Jarak pengetahuan menuju tindakan nyata untuk membangun manfaat kadang memang bisa seribu tahun — sebagaimana kata orang bijak. Akhlak mestinya juga dipraktikkan, bukan sekadar dihapal.
Kedua, menjadi seorang kesatria, eksekutif, team leader, walikota, apalagi presiden, sepantasnya mampu memilih tindakan terbaik, do the right things right; bukan membiarkan diri terombang-ambing oleh alasan subyektif, ilusi keduniawian. Fate mungkin tidak bisa dielakkan, tapi manusia diberi Tuhan keleluasaan memilih untuk berperan sebagai co-creator menjemput takdir.
Setiap kesatria, eksekutif, atau team leader sepatutnya tidak membiarkan diri jadi puppet of fate. Pilihan sembrono yang dilakukan Yudistira telah mengakibatkan keluarganya terpuruk selama tiga belas tahun. Bahasa positifnya: harus menjalani penggemblengan ulang selama 13 tahun.
“It is our choices that show who we truly are, far more than our abilities,” kata J.K. Rowling (Harry Potter and Chamber of Secrets).
Untuk mendekatkan jarak pengetahuan dengan tindakan nyata dan meningkatkan kompetensi, kita perlu latihan otot-otot kepemimpinan (leadership muscles). Sesungguhnya setiap hari kita berlatih memilih. Dari hal trivial menyangkut pilihan informasi yang kita serap, mau olah raga atau teronggok di depan tv (sambil ikut gosip di grup WhatsApp), sampai untuk urusan besar di dunia (ekonomi, bisnis, sosial) dan kepentingan akhirat.
Cobalah renungkan tiap malam, berapa jam hari itu Anda telah membiarkan diri hanyut dalam entertainment (media sosial, acara tv) yang tidak relevan dengan tujuan hidup dan tanggung jawab kehadiran kita di Bumi, berapa lama waktu dipakai untuk hal-hal yang lebih konstruktif – yang umumnya memang counterintuitive?
Cek juga, selama work from home atau hybrid, berapa kali meeting dalam sehari? Seminggu? Berapa persen yang benar-benar efektif? Pertanyaan ini timbul karena sejumlah kalangan mengeluhkan kekisruhan memimpin remote team.
Tantangan terbesar mengubah mindset dan memperbaiki perilaku biasanya muncul dari diri masing-masing. Orang yang tengah di posisi pimpinan cenderung tidak mau mengakui bahwa diri sendiri harus berubah; maka tim yang mereka perintah berubah.
Bos juga biasanya tidak menyadari bahwa inertia (a tendency to do nothing or to remain unchanged) bisa mengkerdilkan kecerdasan, menggugurkan niat-niat baik jadi sekadar khayalan. Hambatan satu lagi: tidak tahu bagaimana melakukan eksekusi untuk perubahan.
Tentunya kita semua ingin naik ke level sukses berikutnya, mampu mengelak dari jebakan seperti dialami Yudistira.
Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach at Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.
Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.
Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books