Masuknya arus globalisasi di ruang digital berkemungkinan mengikis budaya lokal Indonesia. Itu sebabnya, promosi budaya Indonesia melalui ruang digital perlu digencarkan, terlebih Indonesia merupakan negara dengan pengguna internet yang cukup tinggi. Itulah soal menarik yang dibahas dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Jumat (27/8/2021). Kegiatan tersebut merupakan salah satu bagian dari gerakan nasional literasi digital yang dicanangkan Presiden Joko Widodo dalam mendukung percepatan transformasi digital.
Diskusi virtual tersebut dipandu oleh Bella Ashari (tv presenter) dengan menghadirkan empat narasumber: Adrie Wardhana (creative head FOINIKS Digital), Fadrian Gultom (praktisi teknologi finansial), Lanjar Utami (Kepala MAN 1 Karanganyar), Suwaibatul Aslamiyah (Kasi Pendidikan Madrasah Kemenag Kebumen). Selain itu, ada seniman tari Mila Rosinta yang hadir sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan materi diskusi dengan perspektif literasi digital yang meliputi digital culture, digital ethics, digital skills, dan dital safety.
Mengawali paparan, Adrie Wardhana menjelaskan, saat ini media digital memiliki peranan yang cukup besar dalam mendorong perubahan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah kalangan muda yang lebih mengenal budaya asing daripada budaya sendiri. Keberadaan media sosial membuat budaya lokal terancam disingkirkan.
Kekayaan budaya Indonesia sebenarnya sudah kita pahami, namun perlu ditingkatkan lagi promosinya di era digital agar tidak terkikis. Media sosial menjadi sarana paling efektif untuk mempromosikan potensi dan budaya Indonesia, karena jangkauannya global dan pengguna media sosial sangat tinggi. Di Indonesia sendiri pengguna internet 202,6 juta dari total penduduk 274,9 juta jiwa. Selain itu media sosial juga menjadi sarana mencari informasi selain melalui peramban.
“Untuk mempromosikan budaya Indonesia di media sosial, kita mengetahui karakter media sosial yang ingin digunakan agar sasaran yang dituju bisa tepat. Instagram dan TikTok misalnya, memiliki pengguna rata-rata dari usia 16 tahun hingga 24 tahun, jika menyasar anak muda ia menjadi platform paling tepat. Kemudian untuk mencapai jangkauan lebih luas bisa memanfaatkan Youtube dengan format konten video,” jelas Adrie.
Tantangan selanjutnya adalah membuat konten yang menarik. Konten budaya yang dikolaborasikan dengan teknologi menjadi pilihan tepat di kondisi pandemi. Pendekatan ini juga dapat mengubah pandangan bahwa media sosial bisa mengubah konten budaya menjadi lebih menarik. Apakah dengan menyajikan hidden games wisatanya, atau kuliner unik daerahnya.
“Saat ini konten yang banyak diminati dengan tingkat engagement tinggi adalah konten fotografi, atau konten dengan format video pendek. Penggunaan hash tag menjadi penting agar konten mudah ditemukan. Serta buatlah konten yang mengajak orang untuk berinteraksi. Misalnya dengan pertanyaan sederhana yang memicu reaksi dan interaksi timbal balik. Serta paling penting adalah selalu memantau tren di media sosial,” urai Adrie.
Sementara itu, Suwaibatul Aslamiyah menambahkan dari segi etika digital dalam mempromosikan budaya lewat media digital. Ia mengatakan, aktivitas di dunia digital harus disertai dengan kesadaran, kejujuran, tanggung jawab, dan diisi dengan kebajikan.
“Dalam bermedia sosial pun ada tata caranya atau netiket. Mengingat bahwa di ruang digital juga ada keberadaan orang lain, sehingga harus mematuhi standar online yang berlaku. Selalu berpikir sebelum bertindak atau saring sebelum sharing informasi. Selalu menggunakan bahasa yang sopan dan santun, karena ini juga termasuk budaya orang Indonesia pada umumnya. Berbagi ilmu dan keahlian ketimbang permusuhan atau ujaran kebencian. Mampu menghormati privasi orang lain dan menjadi pengguna yang membawa perdamaian,” terang Suwaibatul Aslamiyah.
Etika juga berlaku ketika beraktivitas di ruang digital, yakni dengan bersikap hati-hati dalam mengunggah konten dan berkomentar. Pastikan unggahan tidak mengandung SARA, membangun relasi dan mempromosikan budaya dengan penuh kebaikan.
“Cara melestarikan budaya di media sosial yaitu dengan mempelajari budaya lokal dan mengikuti kegiatan budaya asal. Menjadikan budaya sebagai identitas serta mengenalkan produk budaya dalam bentuk konten grafis, tulisan, maupun video sehingga dapat dinikmati masyarakat secara lebih luas,” pungkasnya.