Menteri Sosial Tri Rismaharini tak bisa menahan emosi, marah-marah lagi. Betapa tidak. Setelah dicek secara nasional, ternyata banyak data penerima bansos yang kacau. Hal itu dikutip oleh Dr. Bambang Kusbandrio, MS, dosen Untag Surabaya, saat tampil dalam webinar literasi digital yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kota Semarang, 30 Juni lalu.
Bambang menuturkan, banyak kasus penerima bansos yang, berdasarkan fakta di lapangan, kurang pantas menerimanya. Ada penerima bansos yang rumahnya bagus. Bahkan, ada penerima PKH (Program Keluarga Harapan) – bantuan untuk rakyat kategori miskin – ditambah terpapar Covid-19 yang ternyata punya mobil. Sementara, banyak rakyat yang jauh lebih layak menerima bantuan justru tidak terdata.
”Mensos makin marah ketika tahu sebagian penerima bansos dan PKH ternyata masih kerabat petugas dan keluarga dari perangkat desa. Ini terjadi di mana-mana. Nepotisme dan KKN masih terjadi di beberapa lini pelayanan publik kita. Masih menggemaskan,” ujar Bambang, dengan nada geram. Mengapa penyimpangan itu masih terjadi, walau banyak layanan publik sudah dilakukan secara online?
Pengawasan internal layanan publik masih belum efektif, sahut Bambang. Hal itu terjadi, karena sistem pelayanan publik kita memang masih banyak yang belum diatur secara jelas dan tegas tata kelola dan aturan mainnya. ”Dan jujur, masih banyak keluhan masyarakat yang baru sebatas ditampung keluhannya, tanpa memberi solusi, karena memang sistem aduan masyarakat belum semua wilayah terkelola secara sistemik. Tidak ada solusi yang tepat, kecuali dengan konsep e-government. Ini bakal pahit buat birokrasi layanan publik kita yang nakal, tapi akan solutif,” urai Bambang, yang alumni Filsafat UGM itu.
Bambang optimistis e-government solutif, lantaran mewajibkan seluruh tahapan layanan publik secara digital. Misal, proses e-budgenting seperti di Kota Surabaya ketika Risma menjadi Wali Kota. Saat itu ada pengadaan ballpoint yang dianggarkan Rp 5 ribu per satuam. Ketika proposal masuk dan anggarannya berubah menjadi Rp 5.200,-, sistem otomatis menolak.
”Langkah ini rupanya efektif, karena saya tahu pada zaman Bu Risma anggaran Kota Surabaya bisa dihemat sampai 30 persen dengan e-budgeting. Ini prestasi yang tentu bikin aparat birokrasi yang nakal jadi jengkel dengan penerapan e-budgeting yang ndak bisa main-main lagi,” cerita Bambang.
Bambang Kusbandrio tak sendiri dalam membahas webinar dengan topik seru, ”Digitalisasi Pelayanan Publik”, yang diikuti ratusan peserta lintas generasi dan profesi. Dipandu oleh moderator Zacky Ahmad, tampil pula pembicara lain: Razi Subardi (pengamat kebijakan publik), Sani Widowati (Director on Site Indonesia, Princenton Bridge Years), Sigit Rahmanto (jurnalis senior Harian Radar Jateng) dan Adinda Daffy, entertainer yang tampil sebagai key opinion leader.
Narasumber berikutnya, Sani Widowati mengatakan, konsep ideal untuk pengelolaan layanan publik secara digital adalah dengan konsep Smart City. Dalam konsep ini, pemerintah kota bisa menyinergikan sumberdaya manusia dengan sistem digitalisasi infrastruktur yang terkelola sinergis dan kolaboratif. ”Ini akan efektif kalau SDM pemerintah sudah cakap digital dan sumberdaya infrakstrukturnya terpadu dan tersistem. Dan, ini yang menarik, Kota Semarang sudah bisa menjalankannya, bahkan sejak 2001,” kata Sani.
Bukan cuma banyak layanan publik bisa dikelola secara online, lanjut Sani Widowati. Sekarang, warga bisa mengakses hotline aduan langsung dengan Wali Kota yang by system bakal direspon dan ditindaklanjuti oleh Wali Kota Semarang. ”Ini kemajuan menarik yang bakal membuat warga makin terpuaskan kalau ada problem pelayanan publik di lapangan. Misal, kekacauan dalam pelayanan penanganan terkait pandemi covid, langkanya obat maupun bantuan terlambat atau kamar rumah sakit yang kurang, bisa mengadu ke Wali Kota,” papar Sani Widowati.
Bagaimana cara mengadunya?
Di Semarang, ada aplikasi Semarang Smart City. Kabarnya, di Bandung dan Jakarta, juga Surabaya, Smart City sudah menjadi aplikasi yang tersedia gratis. Bisa di-download warga di Google Play Store.
”Jadi, ini jelas langkah maju birokrasi kita dalam lima tahun terakhir. Tinggal bagaimana warga merespons digitalisasi untuk makin memudahkan dan mempercepat mendapatkan layanan dan ikut terlibat dalam pengawasan layanan publik di kota-kota, khususnya yang sudah menerapkan aplikasi SmartCity tersebut,” Razi Subardi, pengamat kebijakan publik, memberikan jawaban.
Khusus Kota Semarang, yang disebut sudah sejak 2001 menerapkan konsep SmartCity, ada banyak hotline tambahan untuk menyempurnakan layanan publiknya. Di bidang pendidikan saja ada enam aplikasi layanan yang bisa diikuti. Di bidang kesehatan ada 18 aplikasi, dan di beragam Unit Pelayanan Teknik Pemkot Semarang ada 96 aplikasi. Bahkan kini, khusus aduan layanan publik, ada 13 aplikasi termasuk ke Walikota.
”Jadi? Tinggal bagaimana memanfaatkan kemajuan layanan ini untuk menjadi warga yang cerdas dan peduli. Juga pada pelaksanaan tata kelola pemerintahan kota yang lebih baik. Intinya jangan cuma komplain dan marah-marah saat bansos dan PKH-nya belum kebagian,” ujar Sigit Rahmanto, jurnalis Radar Jateng.