Dosen Magister Admintrasi Publik (MAP) Program Pascasarjana, Universitas Ngurah Rai Denpasar Dr Nyoman Diah Utari Dewi menyatakan, hak digital (digital right) ialah hak hukum yang memungkinkan idividu untuk mengakses, menggunakan, membuat dan membuka media digital atau untuk mengakses dan menggunakan komputer, perangkat elektronik lainnya dan jaringan telekomunikasi.
”Konsep tersebut, khususnya terkait dengan perlindungan dan realisasi hak-hak yang ada, seperti hak atas keamanan privasi dan kebebasan berekspresi dalam konteks teknologi digital, khususnya internet,” kata Utari Dewi saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema ”Privasi dan Keamanan di Dunia Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Senin (6/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti oleh 220-an partisipan dan dimoderatori oleh Rara Tanjung itu, Utari Dewi bicara bersama narasumber lain, seperti: Oka Aditya (Tenaga ahli pendukung di BUMN), Achmad Husein (anggota KPU Kabupaten Blora), Muhim Nailul Ulya (founder media perempuan), dan Rosaliana Intan Pitaloka (Duta Bahasa Provinsi Jawa Tengah 2018) selaku key opinion leader.
Menurut Utari Dewi, hak digital untuk mengakses (right to access) merupakan kebebasan untuk mengakses internet, seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kontrol layanan, penyedia internet, kesenjangan digital, kesetaraan akses antargender, penapisan dan blokir. Adapun hak digital untuk berekpresi (right to express) merupakan jaminan atas keberagaman konten, bebas menyatakan pendapat, dan penggunaan internet dalam menggerakkan masyarakat sipil.
Selanjutnya, adalah hak untuk merasa aman (right to safety) yang artinya bebas dari penyadapan massal dan pemantauan tanpa landasan hukum, perlindungan atas privasi, hingga aman dari penyerangan secara daring. ”Akses dalam konteks hak digital merupakan sebuah peluang atau kesempatan menggunakan serta memanfaatkan sesuatu, mengonsumsi, berpartisipasi secara elektronik dalam ruang digital,” jelas Utari Dewi.
Ia menambahkan, perlindungan terhadap data privasi seperti kartu identitas diri (KTP, SIM) perlu dilakukan agar tak tersebar sembarangan, seperti misalnya: boarding pass dan barcode pesawat, identitas atau atribut sekolah anak, alamat rumah, nomer ponsel, maupun curhat aib keluarga di media sosial.
”Dalam UU ITE, privacy rights atau data privasi yang terkait dengan penggunaan teknologi, diterjemahkan sebagai: Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan; Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai; Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang,” papar Utari Dewi.
Sebagai warga digital, lanjut Utari, yang harus dilakukan ialah pahami privasi dan batas-batasnya, serta jenis-jenis data pribadi untuk kemudian dikelola sebaik-baiknya. ”Perlindungan privasi sebenarnya adalah masalah strategi mengelola data pribadi dengan bijak dan cerdas!” pungkasnya.
Narasumber lain dalam webinar ini, anggota KPU Kabupaten Blora Achmad Husein menyatakan, seiring dengan angka pertumbuhan pengguna internet di Indonesia, maka kejahatan dunia siber juga makin meningkat. Hal itu dibuktikan dengan laporan kejahatan siber oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Barekrim Mabes Polri yang menyebutkan pada Januari hingga November 2020 terjadi sebanyak 4.250 laporan kejahatan siber.
Menurut Husein, gawai adalah pintu ke dunia digital. Seperti di dunia nyata, kita tidak akan keluar pintu tanpa persiapan. Wujudnya berupa persiapan pengamanan perangkat digital, identitas digital, waspada penipuan digital, rekam jejak, termasuk keamanan digital bagi anak.
”Tantangan keamanan digital beserta ancamannya terus berkembang, sehingga pembaruan proteksi harus terus dilakukan. Begitu juga, kompleksitas identitas dan data pribadi makin sulit dilindungi. Untuk itu bangun kesadaran akan pentingnya perlindungan data pribadi,” tegas Husein.
Husein menambahkan, strategi penipuan kini sudah semakin beragam. Kejelian mendeteksi upaya penipuan harus terus diasah. Begitu juga kesadaran akan rekam jejak digital yang sulit dihapus dan selalu menjadi incaran.