Berdasarkan survei dari Hootsuite pada Januari 2021, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta. Sedangkan pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 170 juta.
Seiring dengan semakin banyaknya pengguna digital di Indonesia ini, mereka pun makin perlu memiliki etika digital. Yakni, kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital atau netiquete dalam kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut dikatakan oleh Head of Operation PT Cipta Manusia Indonesia, Rizqika Alya Anwar, dalam webinar literasi digital dengan tema ”Menjadi Netizen Pejuang, Bersama Lawan Hoaks” yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bagi warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (6/9/2021).
”Etika digital, yakni cara berkomunikasi yang baik, sehat, dan benar serta dapat diterima di ruang digital. Intinya, kita harus memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan,” tuturnya.
Menurut Alya, ada beberapa urgensi digital ethics yang perlu dipahami. Misalnya, sekalipun di dunia digital, semua pengguna adalah manusia. Kemudian pengguna internet berasal dari berbagai macam negara dan budaya. Pengguna internet juga merupakan orang yang hidup dalam anonymouse, yang mengharuskan pernyataan identitas asli dalam berinteraksi. ”Bermacam fasilitas di internet juga memungkinkan seseorang untuk bertindak etis atau tidak etis,” kata dia.
Alya menuturkan, salah satu hal yang perlu dihindari di internet yakni hoaks atau berita-berita bohong. Karena, menurutnya, hoaks merupakan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar. ”Bertujuan membuat kita merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan itu, kita akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan dan bahkan salah,” ucapnya.
Adapun dampak dari hoaks ini bisa memicu perpecahan, ketakutan, menurunkan reputasi. Lalu, membuat fakta menjadi sulit dipercaya, dan bahkan bisa menimbulkan korban jiwa. Dalam upaya memerangi hoaks, lanjut Alya, bisa dimulai dari WhatsApp grup keluarga, seperti dengan melakukan cek dan ricek link yang masuk.
Alya juga membeberkan mengenai bagaimana membedakan sumber informasi yang sah dengan yang diragukan. Seperti menanyakan pada diri sendiri mengenai di mana konten itu dipublikasikan, siapa yang menuliskan, apa sudut pandangnya, dan kapan tanggal publikasinya.
Sedangkan untuk menghindari hoaks, pengguna bisa melakukan pengecekan di situs cekfakta.com. Sementara ketika mendapati ada konten hoaks, bisa melaporkannya ke laman aduankonten.id. ”Sebarkan informasi bermafaat dan inspiratif, lakukan siskamling digital, dan pelajari literasi digital,” sebut Alya kepada lebih dari 600 partisipan webinar.
Narasumber lainnya, dosen Fisip Universitas Diponegoro, AP Tri Yuningsih mengatakan, jenis-jenis kabar hoaks yang perlu diwaspadai adalah hoaks virus, kiriman pesan berantai, dapat hadiah gratis, tentang kisah menyedihkan, dan pencemaran nama baik.
”Hoaks memiliki dampak negatif yang ditimbulkan, seperti membuang-buang waktu dan uang, pengalihan isu, penipuan publik, dan pemicu kepanikan publik,” tuturnya.
Menurut Tri, langkah pendek dalam memerangi hoaks ini bisa dengan penegakan hukum melibatkan penyelenggara platform dan memberikan edukasi kepada masyarakat. ”Untuk mengidentifikasi kabar hoaks dan kabar asli, hati-hati dengan judul yang provokatif. Cermati alamat situs dan ikut serta ke dalam grup diskusi antihoaks,” paparnya.
Dipandu oleh moderator Agung Prakoso, diskusi virtual kali ini juga menghadirkan narasumber Ali Formen Yudha (dosen UNNES Semarang), Sunaji Zamroni (Peneliti Alterasi Indonesia dan Dewan Nasional SITRA), dan Writer & Content Creator Iftihal Muslim Rahman selaku key opinion leader.