Senin, November 25, 2024

Kenapa kekerasan berbasis gender online kian meningkat di masa pandemi?

Must read

Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terkait pengetahuan dan kemampuan dalam mengakses segala bentuk teknologi informasi dan komunikasi begitu mencolok. Kesenjangan digital tidak hanya berhubungan dengan akses fisik (infrastruktur). Kesenjangan digital juga berhubungan dengan kesenjangan dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis dan demografis.

”Kesenjangan digital berdasarkan gender, maka akses internet dan teknologi digital perempuan masih terbatas atau lebih rendah dibandingkan laki-laki. Digital use gap antara laki-laki dan perempuan sebesar 21 persen,” ujar dosen Fisip Universitas Parahyangan Bandung Indraswari saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertema ”Menyikapi Kesenjangan Digital antar Gender dan Kelas Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (6/9/2021).

Indraswari mengatakan, kesenjangan gender digital adalah perpanjangan dari kesenjangan gender di dunia nyata. Digital use gap atau kesenjangan digital perempuan terkait antara lain dengan norma sosial. Perempuan sebagai penanggung jawab utama urusan rumah tangga, sehingga mereka memiliki sedikit (kurang) waktu untuk mendalami seluk beluk digital.

”Dalam keluarga yang menghadapi keterbatasan finansial, pemilikan perangkat digital diutamakan bagi laki-laki dan anak. Karena alasan tersebut ditambah dengan keterbatasan pendidikan, berdampak pada rendahnya literasi digital perempuan,” urai Indraswari kepada 320-an partisipan webinar.

Menurut Indraswari, salah satu bentuk kesenjangan gender di dunia nyata adalah maraknya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan di dunia nyata ”berlanjut” di dunia digital berupa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). ”Pada masa pandemi Covid-19, KBGO meningkat, dari 126 kasus  (tahun 2019) menjadi 510 kasus (tahun 2020),” jelasnya.

Beberapa jenis KBGO, yakni: revenge porn, dilakukan atas dasar motif balas dendam dengan menyebarkan video atau foto pornografi korban; Sexting, pengiriman teks, gambar atau video pornografi kepada korban; Morphing, pengubahan suatu gambar atau video dengan tujuan merusak reputasi orang yang berada di video tersebut.

Selanjutnya, Cyber Hacking, penggunaan teknologi secara ilegal, dengan tujuan mendapatkan informasi pribadi, atau merusak reputasi korban; Cyber Harrasment, penggunaan teknologi untuk menghubungi, mengancam, atau menakuti korban; dan Impersonation, penggunaan teknologi untuk mengambil identitas orang lain dengan tujuan mengakses informasi pribadi, mempermalukan, menghina korban, atau membuat dokumen palsu.

Ada lagi Cyber Recruitment, penggunaan teknologi untuk memanipulasi korban, sehingga tergiring ke dalam situasi yang merugikan dan berbahaya; Cyber Stalking, penggunaan teknologi untuk menguntit tindakan atau perilaku korban yang dilakukan dengan pengamatan langsung atau pengusutan jejak korban; Malicious Distribution, penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban atau organisasi pembela hak-hak perempuan.

”Adapun yang dimaksud dengan kesenjangan digital berdasarkan kelas sosial adalah kesenjangan digital yang terkait dengan kondisi sosial ekonomi seseorang, termasuk namun tidak terbatas pada penghasilan, pendidikan, lokasi geografis, dan infrastruktur,” pungkas Indraswari.

Narasumber lain dalam webinar ini, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) Ade Irma Sukmawati berpendapat, menyikapi kesenjangan digital antargender di mana laki-laki lebih mendominasi kemampuannya terhadap teknologi digital, hal itu karena dikenal lebih lincah dalam merasionalkan sesuatu, termasuk bidang teknologi.

Untuk mengatasi kesenjangan gender dan akses penggunaan internet tersebut, kata Irma, salah satunya – seperti yang dilakukan Kemenkominfo – yakni melalui literasi digital yang mengajak semua masyarakat umum untuk melek digital. ”Perbedaan gender terkait kemampuan di dunia digital, sudah bukan rahasia lagi. Kaum laki-laki lebih dominan menguasai teknologi. Sementara kaum wanita lebih awam dengan teknologi. Ini adalah fakta,” tegas Irma.

Kaum perempuan, lanjut Irma, lebih cenderung berhubungan dengan masalah keluarga dan mengurus hal-hal yang sifatnya privat, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan teknologi. ”Berbeda dengan laki-laki yang lebih banyak berurusan dengan sektor publik yang luas,” pungkasnya.

Webinar yang dipandu oleh moderator entertainer Bobby Aulia itu juga menghadirkan narasumber Sani Widowati (Princeton Bridge Year On-site Director Indonesia), Heru Prasetya (pegiat literasi media), dan Julia RGDS (Puteri Tenun Songket Indonesia) selaku key opinion leader.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article