Minggu, November 24, 2024

Beradaptasi di ruang digital, bukan cuma perangkat tapi juga literasi

Must read

Manusia kini hidup di dunia nyata dan dunia virtual sekaligus. Komputer di seluruh dunia terhubung online dan masyarakat mengakses atau bertukar informasi tanpa terhalang jarak dan waktu. “Dunia berada di ruang komputer atau virtual world, kegiatan manusia pun lebih banyak di dunia maya daripada dunia nyata,” tutur Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta Prof. Rajab Ritonga, saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Adaptasi Empat Pilar Literasi Digital untuk Siswa” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Senin (20/9/2021).

Dalam webinar yang diikuti 200-an peserta itu, Rajab menuturkan, dengan ‘berpindahnya waktu’ dunia manusia ke dunia virtual itu makin banyak pula timbul berbagai akses disrupsi informasi. Artinya, semakin banyak peluang dan juga tantangan.

Rajab lantas menguraikan bagaimana peluang dan tantangan era digital itu tercermin dalam pembelajaran di era digital atau era industri 4.0 ini, yang ditandai dengan kondisi bahwa masyarakat sudah tidak bisa terpisahkan lagi dari internet.

”Pelajar dan mahasiswa saat ini menjadi digital native,” tegas Radjab. Dari sinilah masalah yang umumnya terjadi pada pembelajaran digital. Di mana rawan terjadi kebocoran data, rawan plagiarisme, koneksi internet yang sering tidak stabil, kualitas SDM pendidik di bidang IT, dan biaya pulsa yang relatif mahal.

“Pelajar dan mahasiswa pun perlu lagi adaptasi digital dalam pembelajaran dan pemerintah mulai mengeluarkan berbagai kebijakan,” kata Rajab. Pada masa pandemi Covid-19 ini misalnya, pemerintah berupaya mempercepat digitalisasi pendidikan, sehingga perangkat digital dan koneksi internet jadi keharusan.

Kemendikbudristek misalnya, lanjut Rajab, telah menyediakan 190.000 laptop untuk 12.000 sekolah dengan anggaran Rp 1,3 triliun. Lalu, dari dana alokasi khusus 2021 provinsi kabupaten kota menyiapkan Rp 2,4 triliun untuk membeli 240.000 laptop. “Namun, digitaliasi bukan sekadar perangkat fisik. Penting pula penguatan literasi digital atau kecakapan digital pada pelajar dan mahasiswa ini,” ujarnya.

Literasi digital yang ia maksud lebih soal pengetahuan dalam memanfaatkan media digital sebagai alat komunikasi jaringan internet. Pentingnya literasi digital bagi pelajar agar memiliki bekal kecakapan digital. “Kementerian komunikasi dan Informatika bersama gerakan nasional literasi digital telah merintis gerakan nasional literasi digital ini,” kata Radjab.

Dalam literasi digital, ada empat pilar utama yaitu etika digital, budaya digital, keterampilan digital, dan keamanan digital. Kesemuanya ini ditanamkan agar ruang digital kian sehat, aman, dan nyaman digunakan penggunanya. “Dari populasi penduduk Indonesia sebesar 274,9 juta, pengguna internet sudah 202,6 juta dan pengguna media sosial ada 170 juta orang dengan mayoritas usia 16- 64 tahun,” kata Radjab.

Narasumber lain webinar itu, Muhammad Fatih Aska selaku Wakil Ketua 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Pemalang College of Education Science (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang) mengatakan satu hal penting dalam literasi digital untuk siswa adalah agar mereka memahami soal jejak digital.

“Jejak digital ini penting diketahui karena saat sudah masuk ke dunia digital, pengguna internet akan meninggalkan jejak digital yang berupa pasif atau aktif,” kata Fatih.

Fatih berharap dengan jejak digital positif tak terulang lagi kasus jejak digital yang makan korban. Seperti kasus seorang gadis gagal magang di badan antariksa milik Amerika Serikat (NASA) hanya karena dilaporkan pengguna digital lainnya lantaran pernah berkomentar kasar di ruang digital.

Jejak digital pasif, ujar Fatih, merupakan jejak yang muncul secara otomatis. Contohnya seperti browsing history data terkait situs mana yang dikunjungi, sampai dengan pilihan pengaturan dan cookies, berupa data kecil yang disimpan saat mengunjungi sebuah situs.

Sedangkan yang tak kalah berbahaya adalah jejak digital aktif yang merupakan jejak yang dibuat secara sadar. Contohnya seperti bergabung atau mendaftar di sebuah situs atau aplikasi, pengguna memberikan informasi data diri, share location, pengguna menyebarkan sebuah artikel dari sebuah situs hingga berkomentar atau membuat status.

“Tak kalah penting dari jejak digital, yakni pengetahuan etika berinternet bagi pelajar dan mahasiswa,” kata Fatih. 

Menurut dia, alasan diperlukannya etika berinternet karena pengguna internet sendiri berasal dari berbagai negara, bahasa, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. “Pengguna internet merupakan orang-orang yang hidup dalam dunia anonymouse yang tidak mengharuskan pernyataan identitas asli dalam interaksinya,” kata Fatih.

Etika berinternet contohnya jangan menggunakan huruf besar atau kapital, apabila mengutip dari internet kutiplah seperlunya, memperlakukan email sebagai pesan pribadi,  berhati-hati dalam melanjutkan email ke orang lain, biasakan menggunakan format plan text dan jangan sembarangan menggunakan HTML. Jangan kirim file berukuran besar melalui attachment tanpa lebih dulu izin dari penerima pesan.

Sedangkan etiket berinternet, lanjut Fatih, contohnya menulis email dengan ejaan yang benar dengan kalimat sopan serta tidak menggunakan huruf kapital semua. Lalu, biasakan menulis subjek email untuk mempermudah penerima pesan, tidak mengirim email berupa spam, surat berantai, surat promosi dan surat lainnya yang tidak berhubungan dengan mailing list

“Etiket juga mengatur bagaimana menghargai hak cipta orang lain, menghargai privasi orang lain, tidak menggunakan kata-kata jorok dan vulgar dalam berkomunikasi,” terang Fatih.

Dimoderatori Dannys Citra, webinar ini juga menghadirkan narasumber praktisi IT Ardiansyah, Kepala Kemenag Kabupaten Pemalang Fahrur Razi serta Ken Fahriza selaku key opinion leader.(*)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article