Dalam konteks Kementerian Agama, istilah radikalisme lebih dikenal sebagai pandangan ekstrem. Jika digambarkan dengan sebuah sumbu, garis di tengah adalah moderat, sementara yang ada di sebelah kanan mengarah ke liberal (ekstrem kanan). Adapun yang sebelah kiri sumbu akan mengarah ke konservatif, intoleran, radikal, ekstrem, hingga terorisme (ekstrem kiri).
”Jika ekstrem kanan bercorak liberal dan anti teks, maka ekstrem kiri adalah pandangan yang ingin mempertahankan nilai lama (konservatif, tekstualis),” ujar staf pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Waryani Fajar Riyanto saat menjadi pembicara pada webinar literasi digital bertema ”Antisipasi Radikalisme Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (20/9/2021).
Menurut Fajar, konservatifme dan intoleransi yang dibiarkan akan melahirkan radikalisme dan ekstremisme hingga berujung pada terorisme. Untuk itulah, ada gerakan moderasi beragama yang dimaksudkan untuk membawa masing-masing, baik yang berada di kiri maupun di kanan, kembali ke tengah-tengah.
Kondisi intoleransi di Indonesia, lanjut Fajar, dinilai sudah cukup mengkhawatirkan. Hal itu terbukti dari survei tentang kondisi intoleransi yang pernah dilakukan kepada 145 ahli dari 11 provinsi di Indonesia yang menempatkan radikalisme (84,20 persen) di urutan ketiga setelah penyebaran ujaran kebencian (90,40 persen) dan berita bohong (92,40 persen).
”Upaya penyelesaian persoalan radikalisme dilakukan lantaran ada indikasi kuat paham tersebut sudah mulai merasuki anak-anak muda yang duduk di bangku sekolah lanjutan atas maupun mahasiswa. Radikalisme tidak lagi bersembunyi, tapi sudah disampaikan secara terbuka, misalnya demo dukungan khilafah oleh mahasiswa beberapa waktu lalu,” jelas Fajar.
Fajar Riyanto menyebut ada enam indikasi radikal menurut Syeikh Yusuf Qardhawi, yakni: mengklaim kebenaran tunggal, mengutamakan ibadah secara penampilan dan jihadis, menggunakan cara-cara kekerasan, mudah mengkafirkan orang lain (takfiri), tertutup dengan masyarakat (eksklusif), apolitik atau tidak mengikuti kebijakan pemerintah kecuali khilafah.
Radikalisme, masih menurut Fajar, pada level tertentu akan mengarah pada terorisme. Dalam pandangan mereka, Islam adalah sistem agama yang lengkap dan karenanya Indonesia harus diperintah berdasarkan Islam. Sistem politik Indonesia sekarang dianggap sebagai thogut(berhala baru), karenanya harus diganti dengan sistem Islam.
”Karena agama dianggap sebagai ideologi, maka mereka mengusulkan bahwa agama menjadi salah satu cara penyelesaiannya. Kalangan teroris menjadikan pandangan ini sebagai ideologi yang harus mereka perjuangkan,” jelas Fajar.
Bahaya radikalisme juga perlu diwaspadai lantaran mereka menggunakan strategi pendekatan personal, forum diskusi, media publikasi (poster, tabloid), dan media internet untuk menyebarkan paham ideologinya. Adapun isu yang diangkat biasanya masalah ketidakadilan, perubahan ekonomi, ancaman internasional, hingga isu agama.
Berikutnya, Ketua Yayasan Desantara M. Nurkhoiron mengatakan, sesungguhnya radikalisme sudah dikenal jauh sebelum munculnya new media (media digital). Namun radikalisme makin berkembang pesat ketika media digital yang bersifat konvergen sudah banyak digunakan untuk kampanye penyebaran faham dan ideologi radikal.
”Teknologi digital dengan media sosialnya mampu menjangkau kalangan lebih luas dan murah, sehingga peluang untuk membangun jejaring makin terbuka. Di samping itu berbagai platform juga memberi kemudahan untuk menciptakan media baru yang sangat berguna untuk berkampanye,” ujar Nurkhoiron.
Nurkhoiron juga menyebut hasil survei nasional BNPT tahun ini yang menyatakan 85 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme. Salah satu penyebab kerentanan milenial, ialah banyaknya milenial yang menggunakan media digital. Padahal media digital telah banyak dimanfaatkan menjadi intrumen radikalisasi digital. Selain itu, media digital membantu memfasilitasi radikalisasi karena mampu menjangkau orang-orang yang selama ini susah dijangkau.
”Media digital juga membuka kesempatan meradikalisasi orang-orang dengan jangkauan yang lebih luas, menggemakan para pelaku, mengakselerasi proses radikalisasi, memudahkan radikalisasi terjadi tanpa kontak fisik, meningkatkan kesempatan bagi swa-radikalisasi,” urai Nurkhoiron.
Dipandu moderator Nadia Intan, webinar kali ini juga menghadirkan narasumber Septa Dinata (peneliti Paramadina Public Policy), Sangaji (Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kantor Kemenag Kabupaten Sleman), dan Bella Ashari selaku key opinion leader. (*)