Sabtu, November 16, 2024

Bener nih, Anda sudah memanusiakan diri dan tim?

Must read

#SeninCoaching:

#Lead for Good: Extreme humanism is the way.

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

If leaders spend more than half of their time on numbers and operational challenges, they’ve missed the boat – Alan Mulally.

Di kalangan suku-suku di Natal Utara, Afrika Selatan, sawabona atau “aku melihat dirimu sebagaimana adanya kamu” merupakan salam untuk mengungkapkan pengakuan atas keberadaan sesama manusia lain. Jawabannya adalah sikbona, “aku di sini.” – tafsirnya: “Engkau memandang diriku sebagamana aku, maka aku eksis.”

Saat seseorang di antara anggota suku bertindak keliru, si pelaku biasanya akan dibawa ke tengah majelis.  Dikelilingi para anggota suku. Di arena itu, para anggota suku akan menceritakan secara bergantian semua hal baik yang pernah dikerjakan si pelaku tindak keliru.

Kepala dan anggota puak sepakat, manusia hadir ke dunia fitrahnya baik. Setiap orang memerlukan rasa aman, saling mengasihi, damai, dan bahagia. Dalam upaya meraih semua itu, kadang ada saja seseorang berbuat salah. Mereka menganggap, perilaku salah tersebut akibat distress. Adalah tugas komunitas untuk membantu merekatkan kembali si pelaku dengan fitrahnya, sampai yang bersangkutan sepakat sepenuhnya.

Dalam praktik manajemen mutakhir di sejumlah organisasi, kepemimpinan dengan membangun “rasa menjadi bagian suatu puak” bagi seluruh awak, menumbuhkan spirit seperti “sawabona-sikbona”, dengan pelbagai variasinya sesuai kebutuhan dan tantangan masing-masing, terbukti efektif menghasilkan kinerja unggul.

WD-40 Company, misalnya. Kita mengenalnya melalui, antara lain, produk penyemprot anti karat. CEO WD-40 Gary Ridge menegaskan pentingnya membangun tribe, lebih dari sekadar team. “Tribe is something you belong to,” katanya.

Bekerja dalam sub-culture tersebut menjadikan anggota tim saling melindungi, saling menopang, menghargai transparansi dan tahu batas, untuk sama-sama berkembang. Di WD – 40 tidak ada karyawan yang dihakimi jika “salah”, karena setiap proses yang belum menghasilkan prestasi dianggap sebagai learning moment, untuk kemudian ditanggulangi bersama.

Hasilnya? WD–40 selama satu dasawarsa terakhir memberikan returns ke pemegang saham rata-rata 15% setahun. Skor untuk engagement karyawan di WD-40 adalah 93% — sementara menurut survei Gallup, tahun 2020 tingkat engagement karyawan di AS rata-rata 36%, di seluruh dunia skornya 20%.

Gary Ridge meyakini dan menerapkan dalam kepemimpinannya bahwa karyawan yang menikmati pekerjaan akan bahagia dalam kehidupan keluarga mereka, dan setiap berangkat kerja antusias. Di WD-40, 96% karyawan menghormati atasan mereka, yang masing-masing juga berperan sebagai coach. “Profit is the applause of people’s doing great work,” kata Gary.

Budaya kerja mengedepankan transparansi, keberanian emosional memperlihatkan hasil kerja secara jujur apa adanya, saling mendukung di antara para eksekutif dan tim, tidak ada penghakiman terhadap siapa pun yang belum berhasil, juga diterapkan oleh Alan Mulally selama memimpin Ford Motor Company (2006 – 2014).

Tanpa menyebutkan membangun tribe, Alan Mulally konsisten menerapkan prinsip “working together”, mengedepankan budaya saling menghormati di kalangan para eksekutif dan dengan para karyawan, tidak backstabbing (bergunjing), dan perilaku tidak beradab lainnya (seperti membuka ponsel saat rapat atau berkomentar sinis) juga diharamkannya.

Upaya-upaya Alan Mulally menyelematkan Ford dengan membangun budaya kerja bersama berbasis ketulusan, disamping penataan ulang keuangan (menjual saham di perusahaan lain dan mengagunkan asset Ford untuk pinjaman baru), mendapatkan approval rating nyaris 100% dari Serikat Pekerja.    

Dalam Business Plan Review (BPR) setiap Kamis pagi, semua eksekutif diminta jujur atas capaian masing-masing, dalam posisi merah (meleset dari planning), kuning (perlu diwaspadai), atau hijau (sesuai terget). Departemen atau divisi yang tengah berat kondisinya, terbuka dibantu oleh tim dari divisi berbeda. Maka setiap orang memiliki keamanan psikologis untuk tampil terbaik pada setiap momen. Dengan spirit One Ford, berbasis ketulusan dan saling menopang di antara seluruh tim, Alan Mulally boleh dibilang telah menegakkan akhlak dalam praktik, bukan sekadar slogan.

Ford selamat, dari nyaris bangkrut, rugi belasan milyar dolar AS atau sekitar 200 triliun rupiah, menjadi profitable, tanpa pengurangan karyawan dan tidak menggunakan dana bailout dari pemerintah AS — sementara perusahaan-perusahaan otomotif lainnya memanfaatkannya. Setelah berhasil memulihkan Ford, ia jadi seorang living legend bisnis AS Abad 21.

Kuncinya adalah menjadi manusia dan bekerja bersama manusia-manusia lainnya dengan pelbagai kemungkinan sebagai human being. “If leaders spend more than half of their time on numbers and operational challenges, they’ve missed the boat,” kata Alan Mulally.

Trend yang terjadi di sejumlah organisasi yang mengutamakan harkat manusia, lebih dari sekadar sebagai SDM, atau human asset, dan bahkan di atas status sebagai human capital, belakangan ini telah menimbulkan pertanyaan yang bisa mengusik siapa saja: Has the Concept of the Corporation Died?

Pertanyaan mendasar tersebut dipicu oleh krisis eksistensial yang mewabah di pelbagai organisasi di mana-mana, utamanya yang masih hidup dalam pengaruh sihir Revolusi Industri, feodalistis, belum mampu melakukan transformasi.

Sebaliknya, golongan yang selama ini berhasil melakukan adjustment menghadapi realitas, menganggap perubahan merupakan keniscayaan berkelanjutan yang selalu harus diantisipasi, sudah mengoperasikan organisasi dengan cara berbeda, beyond traditional corporate mindset. Mereka terbukti thriving, mampu mengatasi pelbagai kondisi pasar.

People first. Praktisi bisnis dan kepemimpinan Tom Peters termasuk yang gigih melakukan advokasi agar organisasi mengutamakan faktor manusia.

Ia mantan perwira US Navy dalam Perang Vietnam, pakar manajemen mitra McKinsey & Company, dan dari deretan bukunya satu diantaranya, In Search of Excellence, menjadi rujukan banyak orang selama 20-an tahun. Ia juga dulu penasihat senior di White House dan masuk deretan atas 100 orang paling berpengaruh di Silicon Valley. Dalam periode gonjing-ganjing krisis sosial politik dan pandemi, Maret 2021 lalu terbit buku terbarunya, Excellence Now: Extreme Humanism. Tom Peters, 79 tahun, pantas kita simak.

Berdasarkan prinsip management is a pinnacle of human achievement, Tom Peters selama ini konisten menjunjung harkat manusia lebih tinggi dari faktor-faktor lain dalam pengembangan organisasi. Katanya, di pusara nanti tidak akan tertulis berapa kekayaan kita saat meninggal, tapi yang dikenang masyarakat adalah manusia macam apa kita ini sebelumnya.

Terjemahannya dalam praktik manajemen sehari-hari, waspadai jika ada yang bilang bahwa manajemen adalah peluang besar mengubah dunia, “that sounds like total bullshit,” kata Tom Peters. Yang lebih utama, kalau Anda memimpin dan bekerja sama dengan 60 atau 6.000 orang, di situlah kesempatan mengubah hidup banyak orang. Hidup manusia.

Mengutamakan kesejahteraan lahir batin para pemangku kepentingan – lebih dari pemegang saham, mereka adalah pelanggan, karyawan, komunitas, dan publik – faktanya telah melahirkan deretan organisasi yang tumbuh eksponensial. Kesejahteraan di sini lebih dari kecukupan penghasilan (pegawai), tapi rasa ikut memiliki dan dilibatkan dalam, antara lain, dalam inovasi produk dan pelayanan (bagi karyawan dan di kalangan pemasok, agen, serta pelanggan).

Selain WD-40, Ford Motor Company, ada Haier sampai Xiaomi, GE. Di Indonesia ada satu dua yang mencoba demikian, namun belum konsisten – terutama akibat para eksekutifnya terkena leadership blind spot, “wabah orang sukses.”  Bahkan ada kasus-kasus organisasi yang oleh generasi pendirinya berhasil tumbuh dalam budaya bersemangat tribe, di tangan generasi penggantinya, yang merasa lebih pintar dalam “so called management”, mengalami kemunduran, kontras dengan gedung megah dan teknologi yang dipakainya. Menjadi birokratis dan mengalami bottle neck akibat arogansi eksekutifnya, terombang-ambing menghadapi pandemi – untung masih hidup, dengan mengorbankan karyawan, sebagian dirumahkan. 

Dari fakta di WD-40, Ford, dan lainnya tergambar gamblang keberhasilan para CEO dan team leaders merengkuh realitas bisnis dan kehidupan, merangkul batin karyawan, serta konsisten mengembangkan kompetensi mereka.

Para leaders di organisasi-organisasi itu umumnya memiliki sejumlah kesamaan pola pikir dan tindakan, selain mengutamakan kepentingan manusia. Minimal ada dua perilaku kepemimpinan yang menjadikan mereka istimewa, yaitu extreme adaptability dan radical openness – dan sebagaimana layaknya para juara, mereka rendah hati bekerja sama dengan coach sebagai mitra, even Alan Mulally (sejak memimpin Boeing sampai ketika dipercaya menyelamatkan Ford).

Mengesampingkan faktor manusia, sebagaimana bisa dilihat di sekitar kita, kenyataannya menghasilkan kerugian. Strategi hebat apa pun yang dibuat oleh para pengambil keputusan di organisasi, nyatanya pada gagal dieksekusi dengan efektif akibat para bos alpa bahwa para pelaksana mereka adalah manusia yang punya hati, memiliki emosi.

Dr. Susan David, pembicara dalam forum Has the Concept of the Corporation Died? — dipandu oleh Martin Lindstrom dan Marshall Goldsmith — belum lama ini, menyebutkan, di pelbagai organisasi di dunia para eksekutifnya telah menyepelekan emotional skills sebagai faktor penting meraih sukses. Mereka tidak memperoleh dukungan karyawan dengan sepenuh hati. Dari hasil penelitiannya lebih dari 10 tahun, Susan David menuliskan buku Emotional Agility – dapat penghargaan majalah Forbes sebagai Recommended books for Leaders

Menyangkut engagement, misalnya, yang kita percaya atau kita harapkan dapat mendukung setiap inisiatif dan proyek di organisasi, tidak dapat begitu saja bisa ditulis dalam job desc. Kebanyakan para pimpinan organisasi khilaf, engagement tidak bisa dijalankan berdasarkan mandat. “It is people to give not organization demands,” katanya.

Bagaimana agar tim kita dengan senang hati “to give” untuk kepentingan-kepentingan bersama, bukan bekerja sekadar menjalankan tugas atasan? Tantangan para pemimpin hari ini utamanya adalah bagaimana membangun budaya organisasi agar, menurut Alan Mulally, enable people to work together, create value. Maka tim akan memberikan yang terbaik dari diri mereka dan jadi lebih accountable.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) &Head Coach at Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
  • Certified Global Coach Group Coach & Leadership Assessment.   

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for consultancy schedule

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article