Keamanan digital dapat dimaknai sebagai sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman dan nyaman (Sammons & Cross, 2017).
”Tidak hanya untuk mengamankan data yang kita miliki melainkan juga melindungi data pribadi yang bersifat rahasia,” ujar Krisna Murti saat menjadi narasumber webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (12/11/2021)
Dalam diskusi virtual bertajuk ”Pendidikan Online: Era Baru Merdeka Belajar”, Krisna menyebut keamanan digital merupakan Kemampuan untuk memaksimalkan keamanan personal pengguna dan risiko keamanan saat menggunakan internet. Meliputi juga perlindungan diri dari kerjahatan komputer secara umum.
”Contoh keamanan daring misalnya keamanan saat jual beli online, keamanan melakukan transaksi perbankan, maupun keamanan saat menyimpan data-data (dokumen, foto dan sejenisnya) secara daring,” terang dosen program studi Ilmu Komunikasi Universitas Sriwijaya Palembang itu.
Meski begitu, lanjut Krisna, keamanan digital memiliki tantangan berupa ancaman digital yang terus berkembang, sehingga butuh pembaruan proteksi harus terus dilakukan. Selain itu, kesadaran akan pentingnya melindungi data pribadi, lantaran strategi penipuan juga makin beragam sehingga kejelian mendeteksi penipuan harus diasah.
”Tantangan lainnya, rekam jejak yang sulit dihapus juga selalu jadi incaran penjahat. Selain itu, konten digital yang makin menarik dan ruang bermain yang terbatas juga akan meningkatkan risiko kecanduan pada anak,” jelas Krisna Murti.
Terkait media online sebagai sebuah era baru merdeka belajar, menurut Krisna, butuh kesiapan para pembelajar dalam mengatur sendiri tujuan, cara, dan penilaian belajarnya atau self regulated learning.
Hambatan dan tantangan pembelajaran daring, lebih karena tidak semua siswa dapat memahami materi yang disampaikan melalui media daring, siswa ditantang untuk bisa memahami materi secara mandiri, adanya keterbatasan kemampuan guru/dosen dalam penggunaan teknologi, dan siswa kurang aktif dalam kelas karena jenuh dan tidak tertarik dalam pembelajaran.
”Selebihnya, adanya siswa yang belum memiliki media komunikasi atau kurang mendukung, adanya siswa yang terbatas dengan jaringan atau koneksi internet, serta orang tua siswa yang merasa sulit dengan sistem daring ini,” sebut Krisna Murti.
Tak hanya pembelajar, era merdeka belajar menuntut perubahan paradigma para pendidik. Pendidik meminimalkan peran sebagai learning material provider, pendidik berperan sebagai fasilitator, tutor, penginspirasi dan pembelajar sejati yang memotivasi peserta didik untuk ’merdeka belajar’. ”Pendidik menjadi penginspirasi bagi tumbuhnya kreatifitas peserta didik,” pungkasnya.
Berikutnya, konsultan pendidikan Ulfa Harissa Fitri berpendapat, pendidikan online era merdeka belajar merupakan sebuah revolusi pendidikan dan berbeda dengan kurikulum yang pernah ada sebelum-sebelumnya, yang digunakan oleh pendidikan formal Indonesia.
Konsep merdeka belajar menurut Ulfa, dengan memperhitungkan kemampuan dan keunikan kognitif individu para siswa serta kemerdekaan berpikir dan belajar. ”Ada tiga dimensi dalam konsep merdeka belajar, yakni: komitmen, mandiri, dan refleksi,” sebut Ulfa Harissa Fitri.
Lalu, bagaimana menjadikan pembelajaran online sebagai basis merdeka belajar? Pembelajaran online dengan cirinya lebih fleksibel, mudah diakses dan tak terbatas, sangat mendukung program merdeka belajar.
”Namun, dalam hal ini siswa harus mampu menjadi pembelajar mandiri dan pembelajar yang merdeka, serta mereka juga butuh kemampuan pemahaman terhadap dunia digital maupun etika digital,” ujar Ulfa Harissa.
Kebutuhan akan pendidikan etis untuk semua warga digital sangat penting. Pendidikan dalam etika digital harus menjadi persyaratan, bukan pilihan. Hal ini harus menjadi bagian penting dari pendidikan publik.
Dipandu oleh moderator Dannys Citra, webinar kali ini juga menghadirkan Septyanto Galan Prakoso (dosen HI UNS Surakarta), Joko Susilo (founder Komunitas Gunung Kidul), dan Arie LYLA (the Voice 2016, vokalis Band LYLA) selaku key opinion leader.